“Mbak Nana, gimana ya tipsnya untuk mendidik anak laki-laki?” tulis seorang ibu padaku di inbox.
“Berapa usia anaknya, mbak?”
“22 tahun, mbak.”
Aku terkejut.
Lho, di jaman begini, ternyata masih ada to oangtua yang berpikir bahwa manusia berusia 22 itu masih tergolong usia ‘anak’ dan masih perlu ‘diparentingin’?
Tiba-tiba hatiku patah dan kepalaku sakit. Membayangkan berapa ribu atau juta manusia dewasa yang masih diketekin oleh ortunya, padahal sekarang jaman revolusi teknologi. Jaman yang tidak diciptakan untuk ortu masa lalu. Dan ortu yang keteknya besar itu (karena bisa dipakai ngetekin manusia usia dewasa) belum tentu ortu yang fasih teknologi.
Aku, adalah salah satu ibu yang berani jujur mengatakan ‘aku ini gaptek’.
Gagap teknologi.
Tapi karena aku memahami keterbatasanku… aku berusaha membaca banyaaaak buku dan artikel tentang jaman disruption, serta diskusi-diskusinya di youtube.
Setelah semua usaha itu, aku masih tetap gaptek secara keterampilan. Tapi aku paham kemungkinan-kemungkinan jaman akan jadi kayak apa… dan tahu kualitas-kualitas kayak apa yang diperlukan untuk menghadapinya.
Nah…. aku nggak tahu berapa banyak ortu yang ogah peduli tentang masa depan, dan malas mencari tahu serta nggak tertarik mencoba memahami jaman dan kemana arah perkembangannya.
Dan aku akan sungguh heran jika ortu-ortu seperti ini, masih pede buat menentukan cita-cita anak-anaknya… termasuk mendikte jurusan apa yang harus diambil oleh anak-anaknya.
Sakit kepala aku, son….
Setelah beberapa hari kubiarkan pertanyaan di inbox itu tidak terjawab… aku mulai mengetik :
Saya berhenti parenting sejak anak saya mencapai usia 17 tahun. Dan itu sudah terjadi sejak Mei tahun 2019 ini.
Saya berani melakukan ini, karena memang ini masuk dalam perencanaan jangka panjang saya : sejak dia lahir, saya memutuskan untuk fokus mendidiknya. Dengan segala daya upaya, termasuk terus menerus saya mendidik diri sendiri. Dan pendidikan itu tercakup dalam :
- Menghormatinya sebagai individu yang memiliki kehendak dan pemikiran dan selera tersendiri.
- Menghormati individualitasnya
- Respek pada pendapat dan pilihannya termasuk pilihan baju, jenis makanan, mainan, dan bentuk kegiatan. (Respek, bukan berarti membiarkan dan bersikap permisif ya)
- Memberinya sekolah terbaik
- Memperlalukannya secara egaliter (setara)
- Mengajarinya manners.
- Membahas prinsip-prinsip dan life values, serta membantunya menentukan prinsip dan life valuesnya sendiri.
- Melatihnya agar mandiri, pede, berani, dan jadi problem solver…. antara lain dengan mengajaknya traveling.
- Menulari kegemaran membaca buku dan belajar hal-hal baru.
- Membantunya mengenali siapa dirinya, apa panggilan hidupnya, dan memerdekakannya untuk menapaki hidupnya.
Jadi, ketika dia sudah usia 17 dan sudah menjadi warganegara yang terkena subyek hukum…. gadis ini sudah siap menghadapi dunia. Lalu harus diparentingin yang kayak apa lagi..?
“Gimana sih maksudnya, berhenti parenting?”
Contoh konkritnya :
- saya tidak melarang apapun.
- saya tidak mempertanyakan apapun.
- saya tidak menasehati dan memberikan pendapat, kecuali diminta.
Saya memperlakukannya seperti teman kost : okelah kami memang tinggal satu rumah. Kami saling bantu kerjaan rumah, kami saling jaga dan saling bela. Tapi nggak saling ngatur dan saling sotoy.
“Saya masih bingung…”
Membaca itu, aku memutuskan untuk tidak menjawabnya lagi.
Tentu saja dia bingung. Wong semua hal yang kutulis adalah GAYA hidupku, KEPUTUSANku, dan ini kuambil SESUAI KARAKTERKU DAN KARAKTER ANAK yang ingin kubangun kok.
Yaitu karakter orang merdeka dan mandiri.
Aku tidak membangun diriku menjadi orang yang control freak. Sekedar mendikte anak dan pegawai aja, aku nggak suka.
Aku suka orang yang merdeka, mandiri, dan bisa dipercaya. Oleh karena itulah aku selalu memberikan 3 hal itu di muka atau di awal relasi dan kerjasama (memberikan kemerdekaan, kesempatan untuk mandiri, dan kepercayaan).
Sampai kapan?
Ya sampai terbukti anakku atau mereka atau siapapun tidak bisa dipercaya, tidak bisa diberi kemerdekaan (dan harus dijajah serta didikte) dan tidak mandiri. Jika terbukti tidak bisa, maka ketiganya akan kucabut.
Nggak usah pake drama, kupecat.
Dan kalau itu terjadi di anakku, kucabut kemerdekaannya.
Atau kucabut kepercayaanku.
Atau kucabut haknya untuk mandiri.
Bagusnya, dia belum pernah mencederai 3 hal penting itu.
Eh pernah ding.
Suatu ketika, di usia 14-15 (aku lupa persisnya) dia, mungkin karena dinamika pergaulannya, mungkin juga karena dorongan hormonalnya yang membuat mood dan fokusnya fluktuatif, pernah kacau balau mengelola waktu.
Kemerdekaan untuk mengatur dirinya, tidak dijalaninya dengan penuh tanggung jawab.
Tugas rumah (nyapu pagi dan bebenah kamarnya) beberapa kali tidak sempat dilakukannya. Karena alasan bangun kesiangan. Takut terlambat ke sekolah.
Beberapa target kegiatan juga terlewat. Aneka acara batal.
Oke. Nggak pake drama, aku bikinkan jadwal hidup baginya. Lengkap sampai kehitungan menit. Jam berapa harus tidur. Jam berapa harus bangun, menit ke berapa nyawa harus sudah ngumpul untuk bebenah kamar dan nyapu rumah. Menit ke berapa mandi dst.
Dari seorang ibu yang doamat, aku menjadi diktator.
Aku bangunkan dia.
Aku berdiri di ambang pintu kamarnya, mengawasinya membenahi bed.
Macam mandor budak saja aku ini, ketika itu.
Aku siaga di samping pintu kamar mandi di menit ke sekian, tanda dia harus masuk kamar mandi.
Diktatorship ini cuma berlangsung sehari.
Anak yang jiwanya terlanjur merdeka dan paham tanggung jawab ini, merasa terhina diperlakukan seperti budak.
Dia minta agar diberi kesempatan untuk mengelola dirinya. Kukabulkan.
Kepercayaan itu, dipegangnya dengan baik, sejak itu sampai saat ini.
Dia tahu persis prinsip ini :
Jika kamu tidak mau dikuasai orang lain, maka kuasailah dirimu.
Jika tidak mau diatur-atur orang lain, ambil remote controlmu dari tangan orang lain.
Jadilah tuan atas hidupmu, dan ingatlah :
KEMERDEKAAN AKAN BAGUS HASILNYA, JIKA DIBERIKAN KEPADA ORANG YANG MAMPU BERTANGGUNG JAWAB
Maka persiapkan anakmu untuk mampu bertanggung jawab, agar ketika kelak dia dewasa… dia tidak terjerembab dalam kebebasan yang disalahgunakan. Macam orang tidak biasa pegang duit, tahu-tahu jadi tajir. Hasilnya apa? LIAR.
(Nana Padmosaputro)
Bersambung ke :