Seperti hari ini, guliran waktupun terus terlewati dengan segala macam rasa keadaan sekitar. Di sebuah tempat yang jauh dari hingar bingar kota, warga di desa pagi-pagi sudah berangkat ke sawah, menyiangi tanaman. Sebagian lain ada yang ke pasar menjual hasil bumi, ada yang jadi tukang bangunan, kerja sebagai guru, pamong, juga ada yang wiraswasta mandiri. Banyak kegiatan warga lain dengan segala bentuk pekerjaan dan jabatan. Mereka ada yang kost, ngelajo (komuter) dari desa ke pinggiran kota, dan kerja di pabrik-pabrik.
Dulu perusahaan besar adalah suatu yang “pasti menang”. Untuk dekade sekarang, jangan harap kemenangan itu akan terus berlaku. Suatu contoh kecil, mega supermall di banyak kota, lama-kelamaan hanya menjadi tempat refreshing dan rekreasi pengunjung. Produk dagangannya secara market oriented, tidak imbang lagi.
Supermarket pelan- pelan berguguran di mana-mana. Hal ini terjadi bukan karena trik sabotase pesaing, namun terjadi secara alami. Bisnis online via aplikasi dan medsos, pelan namun pasti menggerus keberadaan supermall. Terlebih, aplikasi marketplace sudah pada merintis kerja sama dengan pebisnis UMKM, baik di desa maupun kota. Komplit. Pembeli tinggal klik pilih barang, ada yang harga rakyat sampai harga sultan, tinggal transfer uang, barang sudah safe sampai rumah, dengan iming-iming garansi dan banyak macamnya.
Saya yang sedari tadi melamun, menimbang-nimbang angan, tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang oleh seorang kawan, Kang Senthon. “Heiii…! bengong aja dari tadi. Jangan mikir yang bukan-bukan, nanti kamu bisa gilaaa!” sungutnya sedikit membentak. Saya yang sudah memahami wataknya memilih diam tidak menanggapi ocehannya. Sebab, jika ditanggapi bakal merembet ke mana-mana.
Tak jauh dari teras rumah, awan mendung berarak menyaput rembulan, lalu bergelayut di kaki bukit. Air sungai gemericik mengalir sampai ke danau kecil, seperti mewakili suasana malam yang sendu.
Begitu banyak romantika yang dialami petani desa. Ketika panen gabah, jagung, kedelai cukup banyak, tapi tiba-tiba harga panenan jatuh. Mereka serta merta menunduk, tanpa depresi, dan menyambut dengan ikhlas.
Ubet dan ulet itulah yang membawa warga desa terus dewasa dalam bertahan. Akankah mereka terus meratapi, tidak!Sesehari iya, namun esok lusa mereka sibuk berproses, dan melupakan masalahnya.
Ngobrol gayeng bareng sembari minum kopi, lusanya kumpulan RT , lantas minggunya gugur-gunung nyambut gawe, yang tanpa sadar mereka gunakan sebagai herbal terapi alami. Benang-benang kusut itu disulamnya lagi hingga jadi hiasan sebagai pelega hati.
Saya yang belum pernah mengalami semua itu, hanya bisa menaruh hasrat untuk kemudian berharap, semoga masa depan akan jadi lebih baik, dan lebih baik lagi.
Bertambah malam imajinasi saya makin liar. Saya masih menyempatkan diri untuk menengok rembulan, dalam satu dua isapan kretek, begitu dalam makna yang sesungguhnya tersembunyi. Sementara, dingin makin menua. Aroma wangi cengkeh sesekali tercium, kebersahajaan terus kuhisap dalam-dalam. Hasil bumi, kebersahajaan, keuletan dan ketabahan masyarakat desa membuat Indonesia makin kuat ke depannya. Mereka seperti tidak takut, tidak mau memikirkan para cendekiawan ekonomi berceloteh memprediksi bakal terjadi resesi global dengan segala efeknya. Karena setiap harinya mereka selalu bekerja dan bekerja. Yang mereka pikirkan adalah hal yang sederhana dari kesederhanaannya.
Saya mengayunkan langkah kaki untuk menepi di peraduan. Seleksi alam ini akan terus berjalan, kepada siapa saja. Kita tidak bisa menawar, selain sikap pasrah untuk menjawab segala persoalan.
Kang Senthon, kawan misterius saya, masih setia menemani, walau banyak diam, karena sejak awal saya tidak menanggapi ocehannya. “Desa adalah soko guru Indonesia,” bisik Kang Senthon lirih di telinga kiri saya.