Memberi dan Menerima dengan Hati

Menerima dan memberi

Oleh EFFI S HIDAYAT

Saya punya kesan mendalam tentang hal yang satu ini: keramahan seorang kawan, kerap saya temui selama perjalanan. Di suatu negeri antah berantah sekali pun. Padahal bukan berstatus saudara, bukan siapa-siapa karena mereka adalah orang asing yang saya kenal di dalam bus atau trem yang sedang melaju. Bisa di jalan atau di pasar tradisional yang becek. Bahkan, lebih sering lagi ketika saya  sedang dalam proses nyasar.

Iya, suatu malam gelap yang tidak pernah terlupakan. Saat itu, saya salah naik bus yang membawa saya pulang ke homestay saya di London. Namun, seorang lelaki berkulit hitam yang tampangnya menyeramkan, justru berbaik hati menunjukkan arah dan nomor bus yang seharusnya saya tumpangi. Bahkan, ia pula yang mengantar saya hingga selamat di tempat.

Penduduk yang saya kenal spontan– selalu begitu, entah mengapa mereka terasakan tulus menyambut kehadiran saya. Satu lagi paling berkesan, saat saya terdampar di suatu daerah transmigran  di pedalaman luar Jawa. Mereka tak segan dan ramah mengajak saya makan walau hanya dengan lauk seadanya. Menyilakan saya mandi, bahkan menginap. Pendek kata saya dijamu dan diperlakukan sebagaimana keluarga.

Hanya satu hari, tetapi saya merasa nyaman berada di tengah mereka. Dan, ketika harus berpamitan, mereka memeluk saya dengan hangat. Tak lupa saya dibekali oleh-oleh. Bukan cuma seplastik kecil kue, tetapi dua plastik besar. A la mak, saya terharu!

Ketulusan hati mereka sungguh tidak dibuat-buat. Sepanjang karir jurnalistik saya, bepergian ke luar daerah, kota, atau ke luar negeri bukanlah sekadar perjalanan dinas semata, melainkan suatu perjalanan yang selalu memerkaya batin hingga selalu saya lakoni sepenuh hati.

Ajaibnya, seorang teman punya cerita berbeda. Katanya, ia berkunjung ke rumah seorang saudaranya. Beneran, berstatus “sodara”. Bukan orang asing atau penduduk desa seperti yang saya kenal spontan di tempat. Rumahnya di kompleks elite. Sudah tradisi bagi yang punya anak kecil kudu ekstra hati-hati. Sebelum menginjakkan kaki di pelataran, anak-anak kecil itu diberi berbagai wejangan.

“Ingat, hati-hati ya, Nak. Banyak barang antik di sana, ndak boleh sentuh atawa pegang sembarangan. Awas, lho, kalau pecah. Tidak boleh lari-lari, tidak boleh bikin kotor rumah. Ambil makanan pun kalau tidak ditawari ndak boleh makan sembarangan, ya. Pokoknya tidak boleh bikin malu orangtua. Blablabla….”

Maklum saja. Kata teman saya, pemilik rumah apik tenan. Dan, superceplas-ceplos menegur orang. Sehingga sebagai tamu pun, bawaannya kepingin pulaaang saja. Biar makanan yang terhidang banyak dan lezat, boro-boro menikmati dengan nyaman. Basa-basi tak perlu, mana ada yang menentramkan hati?

Ya, selalu ada saja manusia yang memerlakukan orang seenaknya tanpa melibatkan hati. Pernah tidak, misalnya, menerima parcel makanan yang sudah kadaluarsa? Atau,sate yang kelihatan yummy tetapi setelah dicicipi, maaf, anjing dan kucing peliharaan pun menolak makan.

Sejatinya, kita harus berterima-kasih jika menerima sesuatu. Apa pun bentuknya itu adalah tanda perhatian seseorang kepada kita. Tetapi, justru itulah. Jika sesuatu diberikan adalah bentuk perhatian, mengapa tidak memberikannya dengan tulus?

Memberi dari hati, apa pun itu pastilah menimbulkan energi positif bagi si penerima , bahkan pemberinya sendiri. Sama sekali tidak tergantung dari banyak atau sedikit, mahal dan murahnya harga,no! Terkadang memang cuma a la kadar, tetapi ‘sesuatu’ yang diberikan dengan ketulusan hati, pamornya pasti berbeda.

Walau kadangkala pemberian dari hati ini pun tak mendapat respon. Tak usahlah kecewa, karena ada banyak kasus si penerima pun justru menolak dengan …hati.

Lho?

Iya, seperti yang saya alami baru-baru ini.

Ada pegawai Al**mart masih muda, murah senyum. Tetapi bukan ini yang mau  saya bahas. Yang menjadi perhatian saya, jika diberi tip usai mengantar barang yang saya pesan ke rumah, pasti… menolak. Berbeda dengan rekannya yang lain. Mereka menerima dengan senang hati.

Ya, biar dipaksa kayak apa pun (saya penasaran pernah mencoba) ia bergeming pada keyakinannya. Ucapan yang keluar dari mulutnya, “Nggak usah, Bu. Sudah tugas saya…. “

Wahai, tabik anak muda! Jujur, saya jatuh

… hormat padamu. Kekeuh tidak mau  menerima tip itu memang pilihan. Saya pikir, itu termasuk suatu sikap seorang pria yang jarang ditemui di zaman nowDignityIntegrityGentleman!

Namun, ah. Tampaknya kata “jarang” harus saya ralat. Ternyata saya malah ketemu satuuu lagi!

Siapaaa?

Ada, deh. Kepo. Mau tau aje. Tetapi, intinya saya cuma ingin cerita, bahwa niat saya memberi sesuatu telah ditolak.. Ho’oh, padahal tulus lho, karena ingin membalas budi baiknya.

Lalu, apa yang dia bilang? “Tak usah, ah. Ndak perlu. Kalau dikau senang, aku ikut senang. “

Dah, itu aja.

Duh, melted saya.

Ada orang yang memberi dengan hati, sebaliknya ada pula orang yang menerima dengan hati. See? Tak apa,deh, saya ditolak. Kebaikan tak harus dibalas one-for -one, ke orangnya langsung. Kebaikan cukup diteruskan….

Ya, ya. Saya belajar sesuatu lagi dari teman saya itu : keikhlasan hati tanpa pamrih. Oh, terima kasih saya dari palung hati terdalam….

BACA JUGA INI :

Stigma

Polisi Berhati Emas

Pangeran Philip, Pangeran yang Hilang.

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang