Tugas anak yang utana, bukan menjaga adiknya. Tugas utama anak adalah bermain.
Seorang teman bercerita kepada saya. Anak sulungnya sempat di fase menginginkan adik. Harapan itu tercapai. Namun, ketika adik sedang seru-serunya bertumbuh, sang Ibu bercerita tentang ekspresi wajah sang Kakak ini. Yang berubah menjadi tak ceria sewaktu Ibu mau meminta tolong menjagakan adiknya.
Ekspresi itu membuat Ibu mengurungkan niatnya. Apalagi ketika beberapa saudara datang dan bertanya, “Kak, minta adik lagi ya sama Bapak Ibu. Yang cowo kali ini, biar kamu punya teman main.” Seketika si sulung menggeleng keras dan berkata tidak mau.
Familiar dengan cerita ini?
“Padahal anak bisa belajar bertanggung jawab dengan diminta menjaga adik!”
Pasti ada orang tua yang berkomentar demikian.
Atau,
“Bukankah itu fungsi seorang kakak menjaga adik-adiknya?”
Komentar yang lain lagi,
“Waktu saya kecil dulu juga, kalau sudah sepulang sekolah ya ngurusin adik. Wajar toh, bantuin ibu!”
“Anak sekarang egois dan manja-manja, diminta ngasuh saudara saja ogah!”
Dan seterusnya
*
Sebuah postingan tentang trauma semasa kanak di akun igototheraphy, mengungkapkan apa yang saya ulas di atas sebagai salah satu sebab trauma semasa kanak-kanak.
Bunyinya kurang lebih demikian.
“… childhood trauma can also be caused by being responsible for raising your sibling or taking care of a parent …”
Nah, baca kelanjutannya yang bikin wajah kita berkernyit, faktanya ada anak-anak di luar sana yang mau tidak mau menjaga dan merawat orang tuanya.
“Penulisnya pasti anak tunggal”
“Hidupnya pasti Sultan, jadi semua anak ada yang bantu urus.”
“Anak sekarang apa-apa trauma, mentalnya lembek sekali!”
Tenang … sebelum tersulut emosi karena saya membahas topik ini, cermati dulu judul yang saya pilih.
Kata membesarkan saja sudah tidak tepat untuk diterapkan kepada anak-anak, karena anak bukan orang dewasa. Kategori usia anak menurut UNICEF adalah di bawah 18 tahun.
Menurut The Convention on the Rights of the Child: The children’s version yang ditetapkan UNICEF, poin no 18 sudah jelas menggambarkan apa maksud tulisan ini.
18. Responsibility of parents
Parents are the main people responsible for bringing up a child. When the child does not have any parents, another adult will have this responsibility and they are called a “guardian”. Parents and guardians should always consider what is best for that child. Governments should help them. Where a child has both parents, both of them should be responsible for bringing up the child.
Tidak ada pernyataan anak-anak menjaga dan bertanggung jawab atas anak-anak lainnya.
Faktanya?
Ada istilah A Parentified Child. Anak-anak yang mengambil alih tanggung jawab orang tua.
Bila di Indonesia, kasus umum dalam hal kakak menjaga adik-adik adalah dalam keluarga beranak banyak, tanpa pengasuh, pembantu atau kerabat yang ikut serumah.
Kasus lebih ekstrem ketika anak tertua harus bekerja, mengurus rumah, adik-adik termasuk orang tua, yang biasanya dalam kondisi kecanduan obat atau minuman, dan atau mengalami gangguan kesehatan fisik maupun mental yang tidak tertangani medis.
Saya tidak mendalami ranah kasus kedua, atau yang ekstrem di mana pemerintah yang seharusnya perlu turun tangan dalam pengurusan atau ambilalih hak asuh secara hukum.
Namun, ada saja fakta sehari-hari di mana balita usia 2 atau 3 tahun sudah diberi tanggung jawab juga untuk memegangi botol susu adik bayinya. Mungkin tak terpikir risiko bayi tersedak dan tidak terjaga, oleh orang tua.
Bayangkan, anak pada usia itu baru saja belajar mengenal dunia melalui panca indera dan baru mengembangkan imajinasi dan dalam fase perlu pendampingan orang tua. Berharap anak telah mampu memahami keamanan dan risiko ketika dia ‘lalai’ saat mengasuh adiknya sungguh di luar nalar.
Betapa banyak insiden dalam rumah yang bisa terjadi, meski hal itu dalam posisi pengawasan orang tua.
‘Jumlah kecelakaan terbesar terjadi di ruang makan dan ruang tamu, tapi kecelakaan paling serius terjadi di dapur dan tangga. Setiap tahun lebih dari 67.000 anak mengalami kecelakaan di dapur dan 43.000 diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 4 tahun.’ (https://www.ibupedia.com/artikel/kesehatan/)
Bisa dibayangkan bila pengawasan pengasuhan keseharian diserahkan pada sibling mereka yang hanya berbeda beberapa tahun saja.
Tak bijak bila kita beranggapan, anak yang mengalami insiden adalah karena orang tuanya tak paham pengasuhan, sehingga tak bisa mengatur anak agar berlaku tertib dan waspada.
Keingintahuan anak sangat alamiah, hal itu tak berbanding lurus dengan sikap, patuh, tertib dan waspada. Seringkali anak memiliki minat yang sangat tinggi terhadap lingkungannya, tetapi persepsi mereka masih sangat terbatas tentang lingkungan yang aman. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman bereksplorasi atau perkembangan usia dalam arti kognisi, mental dan emosional yang belum mencapai tahap itu.
Lalu, bagaimana? Apakah ada solusi agar orang tua tidak mengalihtangankan tugas membesarkan, asuh didik anak mereka kepada para kakak? Berikut saya sarikan dari berbagai sumber, hal-hal yang harusnya menjadi pertimbangan ketika kita (orang dewasa) memutuskan untuk berkeluarga.
• Menjadi Orang Tua yang Berkesadaran
Sejak awal suami istri menyadari akan reaksi keputusan mereka akan jumlah anak yang akan dimiliki, jarak antara mereka, kemampuan pengasuhan
Memiliki dua balita dalam rentang umur yang terlalu dekat, bisa membuat Ibu kelelahan sehingga tingkat kewaspadaan dalam mengawasi menjadi berkurang.
Solusinya : ajarkan setiap anak mandiri, begitu dia bisa makan sendiri, melepas pakai baju dan celana sendiri, dan mulai memahami toilet training.
• Mengasuh dan membesarkan anak adalah kerja kolaboratif, bukan cuma tugas ibu saja. Meski ibu dan ayah penanggung jawab utama, sebaiknya jangan sungkan meminta dukungan dari orang lain, baik bantuan fisik maupun dukungan emosional.
Ibu bisa mencari teman untuk berdiskusi serta bertanya mengenai anak-anak serta untuk saling menyemangati, maupun mengikuti laman-laman pengasuhan yang dipercaya untuk tak henti belajar.
• Libatkan sibling yang lebih besar untuk melakukan pekerjaan rumah, termasuk mengawasi adik, bila dia sendiri yang menunjukkan minatnya.
Dengan tahu bahwa Ibu Ayah mencintai anak-anak tanpa membedakan, anak bisa melihat bagaimana bila Ibu sedikit repot selain mengurus rumah juga adik kecilnya.
Ketika anak yang lebih besar menawarkan bantuan, sambutlah dan obrolkanlah apa yang bisa dia bantu (pertimbangkan risiko minimum kecelakaan atau insiden yang bisa dialami)
Sehingga, sampai anak terbesar kita mau dan senang hati membantu mengawasi adiknya adalah karena dia merasa bisa berperan juga dalam rumah, bukan karena suruhan atau perintah orang tuanya.
Sebagai penutup tulisan, saya tak ingin mengambil kesimpulan untuk pembaca. Namun, uraian di bawah ini mungkin akan membantu untuk senantiasa mempertimbangkan. Setiap pilihan memiliki pro dan kontra, pada akhirnya tergantung di tangan kita sendiri.
Untuk orang tua yang memiliki anak dengan jarak usia dekat, berikut memang keuntungan, yang mungkin menjadi pertimbangan pasangan.
1. Sekaligus merasakan dan melalui fase tumbuh kembang balita yang sulit, seperti GTM, toilet training
2. Menggunakan pakaian, mainan, perlengkapan balita pada waktu yang bersamaan sehingga hemat biaya
3. Anak punya teman bermain sebaya sehingga tak selalu merasa kesepian, meski tak berarti mereka selalu akur
Sedangkan untuk mereka yang merencanakan usia anak dalam rentang berjauhan, keuntungannya bisa digambarkan seperti ini.
1. Anak-anak yang lebih besar mendapat pengalaman baru tentang punya adik. Bahasan tentang kehamilan (termasuk datangnya bayi dari mana), beraneka proses melahirkan, menyusui, merawat bayi bisa menjadi topik diskusi orang tua bersama anak.
2. Orang tua mengalami (mengamati, merasakan) setiap tahap perkembangan anaknya secara personal.
3. Walau tidak sepenuhnya bebas stress, mengasuh didik seorang anak, sedikit lebih mudah, dari mengasuh didik dua atau tiga anak sekaligus
4. Bila anak-anak yang lebih besar telah dipersiapkan seperti nomor 1 di atas, mereka (mungkin) akan lebih sibuk beraktivitas sendiri, daripada terus ‘melekat’ dengan ibu atau orang tuanya.
Silakan keduanya menjadi bahan pertimbangan para calon orang tua, maupun orang tua yang telah memiliki anak pertama.
Hal yang perlu diingat sebagai jawaban spontan dari judul tulisan ini, tugas anak yang utama adalah bermain, tak ada yang lain.
Seperti puisi yang digambarkan mendiang penyair Sapardi Djoko Damono
Di Tangan Anak-Anak
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”
Sumber: Horison (September, 1981)
Selamat Hari Anak Internasional!
Ah, Namanya Juga Anak-Anak”-Awal Permakluman, Akar Perundungan