Memburu Susu Kuda Liar di Dompu, NTB

Dompu sudah dikenal sebagai penghasil kuda. Konon kuda para prajurit Jawa tempo doeloe didatangkan dari Dompu yang menyebut kuda sebagai ‘jara’, dan orang Jawa menebutnya ‘jaran’.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

“INI KALI jangan sampe lupa lagi, ye…! Bawain ane susu kuda liar…!” ucap seorang teman, anak Betawi, saat saya hendak ke Dompu lagi. Kali ini berkait dipercayanya saya sebagai penerima beasiswa program Sastrawan Berkarya 2017 yang digelar Badan Bahasa Kemendikbud (kini Kemendikbud-Ristek) RI, dan ditempatkan di kawasan 3T (Terluar, Terpencil, Tertinggal) Kabupaten Dompu – Nusa Tenggara Barat.

Sejak sebelum masa Majapahit, Dompu sudah dikenal sebagai penghasil kuda. Konon kuda para prajurit Jawa tempo doeloe didatangkan dari Dompu yang menyebut kuda sebagai ‘jara’, dan orang Jawa menebutnya ‘jaran’. Oleh keluarganya, RA Kartini yang berjiwa ‘pemberontak’ juga dijuluki ‘Jaran Kore Ayu’. Kore itu pelabuhan di Sanggar. Kecamatan enclave (kantong) Kabupaten Bima di Kabupaten Dompu.

Susu kuda liar juga bukan dongeng. Susu hewan Equus cabbalus itu benar diperah dari ambing susu kuda betina liar. Cuma, berbeda dengan kisah ‘Wild West’ beberapa abad silam pasca Columbus (merasa) menemukan Benua Amerika, dimana kawanan mustang berderap di padang prairie, dikejar pribumi bangsa Indian; di Dompu (seperti juga di Sumba/NTT) kuda dipelihara dengan diliarkan di padang-padang terbuka.

Maryamah, peternak dan pemerah susu kuda liar “Sruuut…! Sruuut…!”, susu memancar keluar, tertampung di wadah plastik gayung air. Lima menit memerah, hasilnya 2 gelas, Segelas diasongkan ke saya (foto foto Heryus Saputro Samhudi)

Tak cuma kuda, tapi juga sapi, kerbau dan kambing. Alam liar Dompu – seperti Doro Ncanga, prairie terluas Indonesia – memungkinkan ternak besar diliarkan karena tak ada predator, selain ular sanca dan buaya (mungkin) yang cukup memangsa kelinci liar ataupun monyet-buntut-panjang. Ternak baru ditangkap (dengan lasso ataupun pagar barikade) bila hendak dijual, atau kuda betina hendak diperas susunya.

Sejak dulu susu kuda liar jadi bagian dari oleh-oleh khas Dompu. Banyak resto dan toko menjualnya dalam kemasan botol, Bahan bakunya didapat dari para peternak di banyak kampung yang berhimpun dalam Koperasi Unit Desa. Tapi selalu ada pemburu ingin susu yang fresh from oven. Untuk itu saya datangi Kampung Seneo, Kecamatan Woja, sekitar sepuluh menit bersepeda motor ke arah utara dari pusat Kota Dompu.

Saneo wilayah tua yang eksis sejak masa Ncuci, cikal-bakal sistem pemerintahan di Dompu. Saneo merupakan satu dari empat ke’Ncuci’an yang dipimpin Ncuci Hu’u (dimana terdapat makam ‘Gajahmada’) di pantai selatan Dompu. Ada banyak peninggalan kuno di Saneo, semisal Watu Nocu (Batu Lumpang) setinggi 1,5meter berdiameter 90Cm, teronggok berlumut di bawah pohon beringin tua.

Mencoba lezatnya susu kuda liar yang baru diperah Walau bernilai tinggi, Rp 50.000/gelas, tapi peternak tak pernah memerah semua untuk dijual. Sebagian perahan adalah hak bayi kuda yang menyusu hingga usia 12 bulan.

Sebagai desa sejak zaman Ncuci, tak heran bila di Saneo juga banyak peternak kuda andal dan tangguh. Saya mampir ke Kepala Dusun, beliau mengarahkan saya ke rumah Maryamah, peternak belasan ekor kuda, dan beberapa betina sedang dalam masa menyusui bayi kuda. “Saya jemput dulu kudanya dari bukit sebelah,” kata Maryamah seraya menunjuk ke arah bukit-bukit lepas dimana kuda-kuda diliarkan.

Selepas Dzuhur itu saya mengangguk, menunggu di sarangge (bale-bale bambu, sarana warga bersosialisasi) di bawah pohon jaran (Lannea coromandelica) di depan rumahnya, menikmati Kopi Saneo yang digiling bareng jahe dan jagung, plus rujak buah kinca yang di Jakarta disebut kawista atau maja lengka/agung. Baru sejam kemudian Maryamah datang menuntun kuda betina cokelat yang diintili bayinya berusia 7 bulan.

Sabar…! Ini penting dipunyai para pemburu susu kuda liar yang fresh from oven. Karena induk kuda yang baru di’jemput’ dari bukit, tak bisa langsung diperah. Harus diistirahatkan dulu di kandang teduh, agar tubuhnya kembali dingin. Juga si bayi yang masih menyusu. Baru sejam kemudian, setelah kuda-kuda menikmati rumput-dedak, Maryamah datang dan berjongkok di samping kaki belakang induk kuda.

Tangan kirinya menggengam wadah tampung, Jari telunjuk dan jempol tangan kanannya cekatan ‘menjepit’ puting susu kuda. “Sruuut…! Sruuut…!” susu memancar keluar, tertampung di wadah plastik gayung air. Lima menit memerah, hasilnya 2 gelas, Segelas diasongkan ke saya. Segelas lagi? Itu jatah bayi kuda, yang walau sejak bayi sudah mampu berdiri dan berlari bahkan makan rumput, tapi tetap bayi yang butuh ASI.

Walau susu kuda liar bernilai tinggi, Rp 50.000/gelas, tapi peternak tak pernah memerah semua untuk dijual. Sebagian perahan adalah hak bayi kuda yang menyusu hingga usia 12 bulan. Jika induk kuda diperkuda (dieksploitasi) hanya diperah susunya, menjadikan si bayi terbengkalai dan malah ogah menyusu.Si induk juga akan ngambek, tak lagi mau memproduksi susu, walau masih dalam rentang waktu menyusui,

Jadi, bayi kuda yang alamiah terus menyusu, justru memperpanjang masa panen susu bagi peternak, dan budaya ternak kuda bisa terus berlanjut. Maryamah menuang susu jatah bayi kuda ke botol susu, menyusukannya langsung ke mulut si bayi. Sedangkan jatah saya, saya campur dengan minuman bersoda (maaf, bukan iklan) Sprite. “Aduk rata dan beri sedikit es-batu, penambah gairah,” kata Maryamah. Hmmm…! ***

06/08/2021 Pk 10:31 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.