Seandainya tarif mahal benar benar diterapkan, semoga hanya sementara waktu, sebagai shock therapy agar bangsa Indonesia menghargai warisan budaya bangsa sendiri. Budaya Nusantara.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SEBAGAIMANA warga lain, saya terkejut dengan pernyataan Menko Marvest Luhut Binsar Panjaitan yang akan menerapkan tarif mahal untuk masuk ke Candi Borobudur. Rp.750 ribu untuk perorangan dan Rp. 1,5 juta (USD 100 dollar) untuk orang asing, selain mewajibkan guide lokal sebagai pendampingnya.
Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengumumkan, Sabtu (4/6/2022), kebijakan baru berupa pembatasan jumlah wisatawan yang bisa naik ke struktur Candi Borobudur sebanyak 1.200 orang per hari. Ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk merawat candi di wilayah tersebut.
Saya menyimak reaksi berbagai pihak, untuk sampai pada satu kesimpulan sementara.
Saya SETUJU!
Saya pernah ke sana, mendaki ke atasnya, dan menikmati kemegahannya. Saat saat kangen, bertahun kemudian, saya mendapatkan foto di Instagram atau media sosial dalam perkembangannya terkini. Semakin kagum pada warisan nenek moyang di Bumi Nusantara.
Namun sementara itu juga mendapat bagaimana warga awam yang tak menghargainya. Bahkan dari kalangan yang berpendidikan, berkebudayaan dan berkesadaran. Tak peduli keyakinan dan agamanya. Masuk hanya karena mampu membayar tiket untuk rekreasi dan sekadar selfie selfie, lalu ketawa ketawa, dan pamer di akun medsosnya bahwa dia pernah ke sana. Ada foto fotonya di sana.
Itu penghinaan untuk Candi Borobudur. Orang orang seperti itu tidak dibutuhkan kehadirannya di Candi Borobudur. Mungkin hanya layak masuk kawasannya saja. Foto foto sebagai background. Sama dengan turis lainnya.
Juga warga menengah bawah, orang desa, yang seenaknya menghina dengan menaiki, mendaki batu batu sucinya. Mereka tidak diperlukan di sana. Tak ada guna warga seperti itu ada di sana.
Mereka tidak mendapat apa apa, kecuali menyampah. Menjadi sampah bagi kesucian Candi Borobudur.
Postingan foto foto di Instagram perilaku tak senonoh para pengunjung Borobudur dari Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf, sungguh menyesakkan dada.
Di masa lalu Candi Borobudur dan Prambanan memang menjadi tujuan “berdarma wisata”. Lalu menjadi sarana rekreasi. Tapi kini tidak lagi. Dan seharusnya juga bukan dan tidak.
CANDI BOROBUDUR adalah warisan budaya yang sangat mahal, bernilai sangat tinggi, berusia puluhan abad, tak tergantikan, salahsatu warisan kebudayan dunia, yang kalau orang ke sana mendapat sesuatu dan menghargai.
Oh, ya. Semoga ini juga kabar baik untuk para pendakwah agama intoleran radikal yang antipati dan mengharamkan Borobudur. Memang sebaiknya Anda dan jemaah Anda menjauh dari kawasan wisata Borobudur.
Perkuat keimanan jemaah Anda dan menabunglah seumur hidup untuk melihat tanah suci di negeri gurun pasir. Atau ke masjid Biru di Turki, atau Disney Land di Singapura. Atau ke Korea, Tokyo atau kemana saja. Tak perlu wisata ke Candi Borobudur. Juga candi candi di Nusantara yang lain.
Dan sementara itu, biarlah Borobudur dibersihkan dulu, ditata kembali dan dirapikan, dikembalikan ke fungsinya bagi spiritualis. Dijaga kesuciannya, untuk saudara saudara kita dari umat Budha .
Semoga untuk mereka, akses Candi Borobudur digratiskan.
MEMANG semestinya ada pembatasan pengunuung ke wilayah candi Borobudur, baik itu untuk wisatawan lokal maupun mancanegara. Saya setuju. Harus ada seleksi. Dan tak perlu ngarep pemasukan dari tiket.
Lagipula Luhut BP tak ambil keputusan sendiri dan asal asalan. Dia menjelaskan kebijakan ini diambil berdasarkan rekomendasi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan banyak pakar. Utamanya untuk menjaga bangunan candi.
Selain itu, pemerintah sendiri kata Luhut berencana menggelontorkan dana sebesar Rp 6,8 triliun untuk kawasan Candi Borobudur. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk mempercantik kawasan tersebut.
Luhut Binsar Panjaitan menyatakan, bahwa tarif mahal baru usulan. Seandainya benar benar diterapkan, semoga hanya sementara waktu, sebagai shock therapy agar bangsa Indonesia menghargai warisan budaya bangsa sendiri. Budaya Nusantara.
Warga Indonesia kemarin dan kini sukarela menabung dan antre bertahun tahun untuk mengunjungi tempat suci di negara asing, di negeri jauh, di gurun pasir, dan begitu memuliakannya – tapi sementara itu, melecehkan dan mengharamkan tempat suci di negeri sendiri. ***