Menakar Kominfo Memblokir PSE Menjaga Kedaulatan

Penulis : Jeannie Latumahina
Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo

Jagad pengguna layanan sistem elektronik, meliputi komputer hingga smartphone dikejutkan dengan seruan Kominfo yang akan melakukan pemutusan akses atau pemblokiran terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat yang tidak terdaftar.

Langkah ini menyesuaikan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang kewajiban setiap PSE Lingkup Privat dalam negeri maupun asing untuk mendaftar sebelum melakukan penawaran atau melakukan kegiatan usaha secara digital di Indonesia. Dengan tanggal akhir pendaftaran yaitu 20 Juli 2022. Yang artinya bahwa putusan PerMenKominfo No.5/2020 sudah jauh hari telah disosialisasikan terhitung diberlakukan perturan tersebut.

Maka tentunya selain daripada melaksanakan sosialisasi keputusan tersebut, perlu melihat pada kemampuan Kominfo dalam melaksanakan semua hasil putusan tersebut, apakah sudah siap dalam menerapkan peraturannya apabila terdapat pelanggaran atas putusan yang berlaku. Mengingat kewibawaan pemerintah dalam menjalankan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Dalam hal peraturan penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) terdapat beberapa hal yang sangat perlu mendapat perhatian yaitu sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis, dan juga sisi tehnis pelaksanaannya, selain juga faktor lain seperti dampak dari peraturan untuk tidak memperlemah jalannya kemajuan pembangunan, tata kelola hingga keuangan negara.

Belum lama ini kita dikejutkan dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang mengeluhkan pembiayaan dimana terdapat 24 ribu aplikasi elektronik yang digunakan pemerintah telah mengakibatkan pemborosan yang luarbiasa, baik dari sisi keuangan maupun tingkat integrasi dari aplikasi-aplikasi yang digunakan tersebut. Demikian juga tingkat keamanan aplikasi dari ancaman peretasan baik pada situs internet pemerintah juga aplikasi yang digunakan.

Demikian juga jika ditelisik lebih mendalam apakah aplikasi yang terkait benarkah sudah mendaftarkan diri pada Kominfo? Ini tentu sangat perlu diperhatikan dalam membangun pemerintahan yang bersih dan efesien, menuju E-Goverment.

Sri Mulyani sendiri menyampaikan bahwa disatu sisi terjadi pengurangan dalam pembiayaan peralatan kantor (ATK) namun disisi lain terjadi peningkatan luar biasa dalam pembiayaan aplikasi internet dan digital dari goverment. Tentu perlu menjadi perhatian untuk setiap kementrian dalam penggunaan aplikasi sistem elektronik, untuk merujuk pada efesiensi serta terintegrasi dalam koordinasi satu dengan lainnya. Tentu bukan malah menciptakan proyek-proyek digital mubazir atau sampai membangun raja-raja kecil aplikasi di tiap penyelenggaraan pemerintahan.

Demikian juga tentunya Indonesia tidak dapat serta merta meniru apa yang dilakukan di negara China dan Australia dalam menerapkan PSE yang tertib dan efesien, tanpa terlebih dahulu menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dari peraturan Undang-Undang juga yang terpenting tehnis pelaksanaan sistim elektronik.

Pemerintah China menganut paham komunis yang dapat serta merta melarang masyarakat untuk tidak lagi menggunakan Google. Demikian juga dengan Australia akibat kebocoran dari skandal Cambridge Analytica dari Facebook.

Namun China tidak langsung menerapkan memutuskan Google, tanpa adanya sistem penggantinya. Perlu dibangun adanya aplikasi-aplikasi sejenis melalui riset yang teruji, baik secara efesien dan aman dari bahaya peretasan, tentunya peran serta pemerintah dalam mendorong terciptanya aplikasi pengganti tersebut.

Mengingat bahwa tidak mudah untuk memutuskan aplikasi produk Google. Google tidak sekedar mesin pencari (search enggine) namun juga memiliki aplikasi yang terintegrasi dengan smartphone Google Play, YouTube dsb.

Apa jadinya bagi pengguna awam pengguna smartphone namun tidak ada aplikasi pengganti semacam Google Play, yang berisikan instalasi aplikasi-aplikasi bisnis, pendidikan dan hiburan. Tentu sangat mengganggu jalannya aktivitas pengguna tehnologi digital baik pemerintah juga rakyat, apabila pemerintah China tidak mengantisipasi sebelumnya.

Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, oleh karena dianggap menyulitkan Microsoft atau Google kemudian menghentikan atau memblokir layanan pengguna sistem elektronik dari Indonesia. Sebagaimana Google pernah mengancam menghentikan layanan kepada pemerintah Australia, apabila mengesahkan undang-undang yang merugikan pihak Google.

Kemajuan tehnologi digital telah mendorong adanya integrasi informasi, sehingga model layanan seperti tehnologi cloud server sangat diperlukan guna efesiensi bisnis, dan sistem keamanan yang teruji dalam setiap usaha peretasan.

Sejauh manakah hal demikian sudah dipersiapkan dengan baik dalam terselenggaranya E-Goverment yang tentu perlu persiapan panjang tidak sekedar menerbitkan perundangan maupun peraturan yang jika dilaksanakan bisa merendahkan kewibawaan pemerintah selaku penyelenggara pemeritahan, atau malah merugikan sebagaimana yang dikeluhkan oleh Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan.

Sungguh diperlukan pembangunan Infrastruktur Informasi Tehnologi sebagai pendukung kemajuan negara Indonesia, selain daripada pembangunan infrastruktur fisik seperti sarana perhubungan. Banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemampuan yang selama ini dimiliki oleh perusahaan raksasa IT seperti Google, Microsoft, Amazon secara bertahap dan terukur.

Penyelenggaraan pemerintahan yang efesien, aman dan pelayanan publik tentu menjadi perhatian bersama dengan tetap memperhatikan asas demokrasi Pancasila yang di anut oleh bangsa dan negara Indonesia.

Keamanan dalam pelayanan publik dan sekaligus keamanan baik individu maupun, untuk tetap menjaga integritas serta kedaulatan perlu terus menerus dijalankan pada ruang digital. Disatu sisi ada ketertinggalan dalam kemampuan tehnologi. Perlu untuk ditegakkan dan ditegaskan.

Tentu saja masyarakat selaku pengguna memerlukan payung hukum jika terjadi pelanggaran, dimana selaku PSE harus tunduk dan taat terhadap hukum yang berlaku jika diperlukan oleh “pengadilan” ketika memerlukan data yang berada dibawah data kelola PSE. Dan tentu saja ini berlaku tidak hanya di negara Indonesia, dan juga disemua negara dunia manapun.

Pendaftaran PSE kepada Kominfo adalah bentuk pertanggung jawaban dan legalitas PSE selaku penyelenggara, baik terhadap hukum yang berlaku juga terhadap pengguna atas keamanan data yang dikelola.

Masyarakat selaku pengguna aplikasi tentu saja juga berharap adanya keamanan data pribadi, namun juga disatu sisi berharap adanya perlindungan hukum atas semua transaksi digital jika terjadi pelanggaran, yang jelas tidak mungkin bisa diharapkan diperoleh dari PSE ilegal.

Bagaimana pengguna layanan transaksi digital mendapatkan perlindungan hukum jika terjadi pelanggaran pada transaksi yang berlangsung jika PSE tersebut tidak terdaftar atau ilegal.

Pengakuan atas legalitas yang berlaku, merupakan pengakuan atas kedaulatan teritorial pemerintahan di ruang digital yang borderless untuk semua transaksi yang berlangsung.

Maka apa yang dilakukan dan kebijakan Menkominfo dengan mewajibankan pendaftaran oleh penyelenggara PSE, adalah pengakuan atas kedaulatan negara Indonesia yang wajib di dukung oleh masyarakat pengguna jasa PSE sebagai bentuk perlindungan negara atas setiap transaksi di ruang digital.

Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa ada banyak kepentingan melalui proxy-proxy untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya, dan Kominfo harus tanggap dan responsif dalam menjaga kepentingan baik regional, bilateral terhadap adanya Digital Inteligen, Ekonomi Inteligen dan Industri Inteligen disamping politik, device maupun geostrategis.

Dan tentunya Perindo memberikan dukungan sepenuhnya atas kebijakan dan peraturan Kominfo dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan masyarakat pengguna jasa di ruang digital.

Jakarta 5 Agustus 2022

Tinjauan Kecerdasan Tiruan, Big Data dan Masa Depan Bangsa

Twitter, WA, Insta, dkk Terancam Diblokir Oleh Kominfo

Avatar photo

About jeannie latumahina

Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo