Naik turun perasaan sebagai ibu anak autis, sering membuat orang bertanya. Orang mulai menyadari kebersamaan orangtua dan anak autis tak semudah yang terlihat.
“… saya hanya ingin dia bahagia”
Video pendek produksi WomanTalk tahun 2018 yang beberapa pengambilannya dilakukan teman-teman ISI Yogyakarta ini, membuka sesi webinar saya bersama Yayasan Peduli Kasih ABK kemarin sore
Saya pun masih terharu menontonnya, dengan berbagi cerita behind the scene, proses rekaman suara saya berbelas kali, karena saat itu saya sering menangis dan terbata-bata.
Naik turun perasaan saya sebagai ibu anak autis yang kini sudah berusia 20 tahun, memang sering buat orang bertanya-tanya. Karena, kini orang mulai menyadari membersamai anak autis tak semudah yang terlihat, tak secepat kita mengetikkan kalimat “kamu hebat atau ibu yang sabar” pada kolom komentar postingan media sosial.
Sejujurnya, di awal tawaran saya mengisi sesi berbagi kemarin, saya menolak. Kepada Bu Sawitri Retno Hadiati, ketua Yayasan Peduli Kasih ABK; saya mengungkapkan bahwa masih banyak orang lain yang lebih hebat, ‘gila-gilaan’, dan lebih mengabdi, memberdayakan anaknya.
Bu Sawitri bersiteguh memilih saya untuk berbagi. Salah satu pesannya yang menyentuh saya, “ …. Tapi aku suka tough-nya ibu dan berani bersuaranya … YPKABK sampai bikin festival bersuara.”
Benar, saya salah satu tipe orang tua yang tak segan menyampaikan pendapat perihal pengasuhan. Dulu, malah terkenal galak bila dimintai saran perihal pengasuhan dan pendampingan anak autis. Saya juga yang tak bisa terima terhadap perlakuan orang lain, sekolah maupun masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus, terutama autis.
Cuma ketika insiden sulung saya yang autis dikeluarkan dari TK tahun 2009 karena kesalahpahaman dengan pihak sekolah yang tak diselesaikan tuntas, saya marah, sakit hati dan terpukul. Untungnya seorang teman guru bilang, “Mau sampai kapan kamu berusaha membungkam mulut orang lain yang berkata buruk tentang anakmu. Seumur hidup, dia tak akan lepas dari omongan buruk. Buat apa kamu fokus sama itu. Fokuslah pada apa yang bisa dilakukan untuk tunjukkan kepada orang lain, bagaimana dia bisa berkembang.”
Namun, pukulan telak itu sayangnya belum juga menyadarkan saya. Termasuk menaruh target tinggi anak autis saya sudah bisa di sekolah yang katanya inklusi. Saya belum menyadari bahwa pendidikan inklusi itu semestinya juga melibatkan seluruh komunitas atau ekosistemnya. Bukan hanya label, kurikulum, metode, media, staf dan siswanya saja.
Saya menutup mata akan tatapan mengasihani atau tidak senang orang tua siswa, yang ternyata ‘sampai’ ke perasaan sulung saya tersebut. Saya tak mau cepat-cepat sadar bahwa label inklusi yang disandang sekolah, tak melebur dalam proses pembelajarannya. Dia yang autis tetap diminta mengikuti target setiap anak secara umum.
Di sisi lain, saya lalai menyadari, bila suatu saat terjadi perundungan (ketika anak saya dalam kondisi tidak baik), apakah siap dengan segala risikonya, dan mampu mempertaruhkan perasaan anak itu sebagai korban perundungan?
Kenyataannya, anak saya pun mulai stress dan mengalami kemunduran, terutama dalam hal calistung. Dia tak mau menulis meski bisa. Dia tak mau ke sekolah padahal senang belajar. Sebelum dia benar-benar mengalami depresi, akhirnya saya memutuskan memindahkan dia ke sekolah khusus, yang langsung memelesatkannya dalam pengembangan minat dan bakat.
Walau mendapat ‘pukulan’ demikian lagi, saya tak juga sadar tetap bersuara keras. Apalagi predikat sebagai ibu kuat, ibu sabar, ibu hebat seketika mencerabut kesadaran, bahwa saya tetap manusia biasa.
Pada masa-masa itu, dengan pongah seolah saya telah melakukan banyak hal. Tak ada bedanya dengan ibu-ibu nyinyir yang mengkritisi sejauh mana orang tua sudah menerima, tidak denial, dan sudah melakukan apa untuk memfasilitasi dan memberdayakan anak. Apapun dan bagaimanapun kondisi keluarganya, saya cenderung tidak peduli.
Sesungguhnya sikap itu saya bentuk dari kehendak membuktikan kepada orang banyak, serta untuk menutupi bahwa kondisi mental saya sesungguhnya tidak baik-baik saja. Tampak kuat dan sabar, padahal rapuh. Ketika saya terkena serangan panik tahun 2019, mode diri seperti zombie, melakukan kewajiban dan tanggung jawab sebagai orang tua tanpa merasa apa-apa.
Ketika itu, saya baru merasa bahwa saya pun manusia biasa, bukan super. Saya bisa sedih, kecewa, kadang perlu waktu untuk menyendiri dalam waktu ME time juga untuk me-recharge ketika merasa penat. Hal yang seolah ikut saya TABUkan juga.
Tanpa sadar saya menarasikan diri bahwa ibu anak autis HARUS KUAT, TEGUH, SABAR, dan MENGESAMPINGKAN APAPUN selain mendampingi anaknya, seiring predikat yang disematkan pada komen media sosial saya.Faktanya, saya tak mampu menjadi sosok demikian.
Makin menguat-nguatkan hati, saya makin rapuh secara mental. Suami saya suatu waktu sampai bilang, “Yang saya pikirkan sebenarnya adalah kamu. Apakah kamu baik-baik saja, tidak larut dalam kesedihan dan putus asa? Karena kamu juga penting, selain anak kita yang autis.”
Kesadaran bahwa saya pun manusia biasa. Yang tak apa menangis bila tak tahan lagi, yang berkeluh kesah saat banyak masalah, yang perlu rehat ketika merasa penat.
Hal itu mulai membuka mata saya, untuk tak apa memiliki kesenangan menulis, punya minat ikut dalam komunitas, selagi mampu menyeimbangkan diri dengan tanggung jawab sebagai Ibu, berikut segala konsekuensinya. Apalagi anak saya, bukan hanya yang autistik saja. Bungsu saya pun perlu Ibu yang bisa membersamai, mendorong dan mengarahkannya untuk menjangkau impian. Bungsu saya pun perlu teladan Ibunya tak berhenti belajar dan meningkatkan diri.
Teringat kutipan dari film “Ngeri-ngeri Sedap”. “Kalau anak berkembang, orang tua pun harus berkembang. Jadi orang tua itu nggak ada tamatnya.”
Hal itu mengingatkan saya bahwa dengan berkembang, menjalani kesukaan menulis, berorganisasi dalam komunitas-komunitas yang sesuai dengan visi misinya, saya lebih optimis dan lebih ‘sehat’ secara mental. Dengan demikian, ide, keinginan dan harapan untuk anak-anak makin mampu saya dampingi, fasilitasi dan wujudkan.
Mungkin ada yang tak bisa menerima pendapat ini, atau berbeda pendapat, ya tidak apa-apa. Saya pribadi sedang menarasikan ulang eksistensi saya sebagai ibu anak autis.
Bahwa saya pun manusia biasa, bukan super. Punya hati, gagasan, dan keinginan, kadang gembira, tetapi bisa juga bersedih, kadang senang berkomunitas, di lain waktu ingin sendiri saja. Bila semua gejolak dan perasaan itu muncul, ya dirasai dan diresapi saja, untuk besok yang lebih baik.
Tindak Hanya Korupsi , Pencucian Uang Termasuk Tindak Kejahatan Luar Biasa
SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain






