Penangkapan dua anggota Polda Lampung oleh Densus 88, yang diduga terkait dengan terorisme, mengindikasikan adanya penyebaran paham radikal di dalam tubuh Polri yang “belum seluruhnya terdeteksi”, kata sejumlah pengamat terorisme.
Seide.id – Dua orang anggota Polda Lampung ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat jaringan terorisme.
Kepala Bidang Humas Polda Lampung, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, membenarkan adanya penangkapan itu. Namun dia enggan merinci lebih lanjut substansi dari kasus ini.
“Untuk apa yang dilakukan adalah kewenangan Densus dan akan diberikan keterangan lebih lanjut oleh Densus, kami hanya membenarkan rangkaian kegiatan tersebut,” kata Pandra kepada wartawan Robertus Bejo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Lampung.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, menilai “ada kemungkinan banyak kasus lainnya yang tidak terdeteksi”. “Karena yang mencuat ke publik hanya beberapa kasus yang dianggap menyita perhatian publik,” kata Al Chaidar kepada BBC News Indonesia.
“Ini tidak main-main. Ini adalah institusi negara, kemudian ini memfasilitasi orang untuk melakukan gol bunuh diri. Berbahaya kalau dibiarkan dan harus diambil tindakan tegas,” lanjut dia.
BBC News Indonesia menghubungi Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo. Namun Dedi menolak berkomentar dan mengatakan bahwa dia “belum mendapat update dari Densus”.
Namun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa penangkapan terbaru di Lampung menambah jumlah kasus keterlibatan polisi dengan terorisme menjadi 10 kasus sejauh ini.
Pendiri Negara Islam Indonesia Crisis Center, Ken Setiawan, menilai kasus ini menggambarkan bahwa jaringan terorisme turut menargetkan perekrutan aparat karena memiliki akses ke senjata.
Ken menduga kedua polisi yang ditangkap oleh Densus 88 itu tergabung dengan komunitas “Polisi Cinta Sunnah” sebagai salah satu cara infiltrasi paham salafi wahabi.
Ken menyebut komunitas “Polisi Cinta Sunnah” bagaikan “benalu atau parasit” di tubuh polisi, yang “tidak boleh diabaikan”.
Jumlah pengikut “Polisi Cinta Sunnah” yang kini telah berganti nama menjadi “Pembelajar Cinta Sunnah” di media sosial mencapai sekitar 170.000 orang, meski jumlah polisi yang terpapar paham radikal lewat komunitas ini perlu dikaji lebih mendetil.
Kasus di Lampung, kata Ken, membuktikan fakta bahwa polisi menjadi salah satu target utama perekrutan jaringan teroris. “Itu karena aparat punya jaringan senjata. Bukan hanya polisi sebenarnya, TNI juga menjadi sasaran,” ujar Ken.
Pada 2019, terungkap kasus Brigadir WK dari Tanggamus, Lampung yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Lampung karena diduga terpapar paham radikalisme.
Kemudian ada pula kasus polisi wanita Bripda NOS di Polda Maluku yang berafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Apa itu ‘Polisi Cinta Sunnah’?
Menurut Ken Setiawan, “Polisi Cinta Sunnah” adalah nama dari komunitas polisi yang mengikuti kajian dari ustad-ustad dengan aliran Salafi Wahabi.
Belakangan, komunitas itu berganti nama dan logonya menjadi “Pembelajar Cinta Sunnah”.
Melalui komunitas itu lah mereka melakukan infiltrasi ajaran Salafi Wahabi ke dalam tubuh Polri, yang oleh Ken disebut sudah “menggejala” dan menjadi “benalu” di tubuh Polri.
“Banyak polisi yang tiba-tiba menyalahkan dan mem-bid’ah-kan masyarakat yang berbeda paham, anti-perbankan karena dianggap riba, bahkan sampai mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham, dan akhirnya mengundurkan diri karena menjadi polisi dianggap bertentangan dengan hati nurani,” jelas Ken.
Dia mengaku khawatir apabila fenomena ini dibiarkan, maka kasus seperti di Lampung dapat terjadi lagi di Polda lainnya.
Adanya “kekeringan spiritual” yang dirasakan oleh anggota polisi, menurut dia, kemudian “diisi oleh kelompok-kelompok teroris” itu.
Al Chaidar justru menduga pasokan senjata dari kedua anggota Polda Lampung itu mengarah ke kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.
“Indikasinya, kalau kelompok cinta sunnah itu, tidak bergerak di bidang kekerasan dan tidak butuh senjata. Yang butuh senjata adalah wahabi takfiri, yang tergila-gila pada akses suplai senjata,” jelas dia.
Analisis senada juga disampaikan Al Chaidar.
Beberapa kasus yang dia pantau menunjukkan bahwa ada polisi yang sudah bergabung dengan kelompok teroris, termasuk dua kasus di Lampung yang disebut “menyuplai senjata untuk kelompok teroris”.
“Kelompok teroris sangat ingin mendekati kelompok yang memiliki senjata, kalau sudah memegang senjata, apalagi dikasih senjata seperti itu, bagi mereka itu adalah sumber kuasa paling besar,” tutur Al Chaidar.
Dampak dari situasi ini, lanjut dia, “akan mengerikan sekali” bila terus dibiarkan.
“Saya tidak bisa membayangkan aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengamankan masyarakat justru tiba-tiba jadi teroris, bekerja sama dengan kelompok teroris, aduh, sudah. Negara ini bisa tidak eksis,” ujarnya.
Anggota MUI ditangkap, Jamaah Islamiyah disebut telah ‘menyebar ke seluruh lini masyarakat’
Ken Setiawan mendesak Polri untuk mengevaluasi diri pasca-kasus di Lampung, mengingat polisi justru semestinya menjadi garda terdepan melakukan kontra-terorisme.
Apalagi, dengan kasus keterkaitan anggotanya dengan kelompok terorisme yang ternyata masih berulang.
“Harus ada antisipasi terhadap terpaparnya anggota kepolisian dalam hal sistem tes atau penelusuran tentang mental dan ideologi supaya penyusupan gerakan radikalisme di lingkungan aparat bisa dicegah,” jelas Ken.
“Kalau ini dibiarkan menurut saya ini akan jadi bencana. Aparat kita yang seharusnya melindungi, mengayomi, dan memberantas radikalisme dan terorisme tapi malah justru terlibat, terus masyarakat harus percaya kepada siapa kalau seperti ini?”
Dihubungi terpisah, Ahmad Nurwahid dari BNPT mengatakan bahwa temuan 10 kasus terkait terorisme di tubuh Polri sejauh ini menunjukkan bahwa situasinya “sangat urgent”.
Penyebaran paham radikal, lanjut dia, “sudah menginfiltrasi ke seluruh lini kehidupan masyarakat” dan “tidak mengenal profesi.
“Tapi kami hanya bisa melakukan pendekatan soft, tidak bisa melakukan menegakan hukum. Itu ada di Polri,” tutur Nurwahid, yang juga mengatakan bahwa upaya kontra-radikalisme dan pemetaan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan terorisme terus dilakukan.
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid, mengatakan kasus ini “masih didalami lebih lanjut oleh Densus 88”, termasuk soal motif, sejauh mana paparannya, hingga keterkaitannya dengan komunitas “Polisi Cinta Sunnah” itu.
Namun dia tidak menampik bahwa paparan paham radikal telah menginfiltrasi tubuh Polri, bahkan TNI dan institusi negara lainnya.
Dia mengatakan bahwa situasinya sudah “urgent”, namun BNPT hanya bisa melakukan pendekatan lunak, salah satunya melalui kontra-radikalisasi. – bbc/dms.