MENDADAK BUYA

DARI lima kami bersaudara laki-laki yang akhirnya jadi bapak, ada satu yang dipanggil Buya oleh anak-anaknya. Kakak gue nomer lima.

Buya atau abuya dalam bahasa Arab adalah kata sapaan kekeluargaan untuk orang tua laki-laki, sama dengan sapaan “ayah”. Panggilan biasa bapak asal Minang.

Tapi Buya juga sebutan bagi ulama besar di tanah Minang, seperti halnya kiai di Jawa.

“Kepantasan seseorang disebut buya bila memenuhi setidaknya dua hal; apakah punya surau dan jamaah,” begitu kata Mestika Zed— Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang,

Buya bukan hanya sebutan untuk orang yang pandai mengajar agama, alim ulama, tapi juga menunjukan penghormatan atas kebijakan yang dimilikinya, keluasan wawasannya, dan yang utama kharismanya.

Dalam berpendapat seorang Buya biasanya memilih cara yang damai. Jika mengkritik bahasanya halus, dan tahu menempatkan persoalan sesuai konteksnya. Kritis tapi jauh dari merendahkan pihak lain. Apa yang dibelanya sama sekali jauh dari kepentingan pribadi.

Dalam pergaulan orang Minang, panggilan Buya juga suka dipakai untuk ngeledek orang yang kosong ilmu agamanya tapi sok paling iya. Dan biasanya itu dilakukan pada teman dekat. Suasananya pun bercanda.

Tapi juga bisa dilakukan sebagai bentuk kemarahan pada orang yang sebetulnya tinggi ilmu agamanya, tapi tajam mulutnya. Jauh dari bijak, berwawasan, apalagi berkharisma.

Gue lumayan kaget ketika Jokowi menjawab pertanyaan “kritis” waketum MUI Anwar Abbas dengan panggilan Buya plus embel-embel doktor pula.

Kenapa? Ada yang salah? Ya. Di mana? Di gesture tubuh, ekspresi wajah, dan intonasi Jokowi.

Buat gue yang dari kecil sudah dilatih membaca gestur bapak gue kapan bercanda kapan marah, bisa merasakan itu.

Kalau gak percaya coba banding gesture Jokowi berhadapan dengan Buya Safii Maarif. Santun dan penuh hormat banget. Padahal kritik Buya Maarif gak kalah kerasnya dibanding Abbas.

Di mana bedanya. Di pilihan kata dan waktu yang gak tepat. Abbas yang selama ini dikenal pedas mulutnya dsn jauh dari kesan orang cerdik pandai, melenceng dari persoalan dan konteknya.

Forumnya soal ekonomi umat Islam tapi melipir ke soal penguasaan tanah oleh segelintir orang yang sudah ada sejak jaman Orba, tapi seolah-olah itu kebijakan Jokowi. Ya emosilah beliau.

Dan keluarlah panggilan gak biasa bernada jengkel “Buya doktor”. Panggilan yang gak pernah disematkan pada Pak Sjafii Maarif yang ilmu dan gelarnya yang lebih tinggi “Buya profesor doktor.”

Kalo ada yang mendadak manggil gue “Buya doktorandus” ini jelas sebuah pelecehan. Apalagi gelar doktorandus atau disingkat “drs” itu ngeselinnya masih bertengger di depan nama KTP gue. Gelar jadul yang seharusnya sudah pindah ke belakang nama gue jadi S.S. alias Schutzstaffel. Bukan ding Sarjana Sastra.

Penulis: Ramadhan Syukur

Foto: Buya lama dan mendadak Buya.

Avatar photo

About Ramadhan Syukur

Mantan Pemimpin Redaksi Majalah HotGame, dan K-Pop Tac, Penulis Skenario, Pelukis dan menekuni tanaman