Foto : Stephan Louis / Unsplash
Semua manusia terlahir secara unik sebagai pribadi yang tidak pernah tergantikan. Hakekatnya kita manusia sama, sekaligus pribadi unik tak tergantikan. Maka, menjadi beraneka ragam sosok dalam relasi saling melengkapi dan melayani, karena saling membutuhkan.
Namun, dari segi gender, ada yang ajaib. Seperti kehidupan setiap pribadi, tidak ada yang mengusul dan meminta terlahir, juga soal gender. Ada laki-laki, ada perempuan, ada yang bukan. Lalu, namanya diberikan macam-macam dalam setiap komunitas budaya dan bangsa. Kaum transgender sungguh nyata, tetapi umumnya mengalami perlakuan yang miris, dihina, ditolak dan dipinggirkan. Ketika mendengar pengakuan dan sharing pengalamannya, saya tuliskan dalam sajak:
Batu Karang di Pasir Pantai
Seperti batu karang ini
ada di bibir pasir pantai
dihempas gelombang samudera
diterpa debur ombak ganas
dibakar terik mentari
diguyur hujan dan badai
Aku tetap berdiri
membawa seberkas cahaya
titipan Pemilik alam semesta
Di hamparan pasir pantai
kutatap padang membentang
kulihat rumput hijau kuning
kusaksikan deretan bukit gunung
kupandang lembah ngarai
serta hutan belantara
dan langit penuh pesona
Aku berdiri tegar bersahaja
menggenggam sebutir berlian sinar
amanat Sang Pencipta
Orangtua ku tidak meminta
apalagi berharap adaku
hadir dengan seberkas cahaya
Aku pun tidak mengusul
apalagi memaksa terlahir
dengan sebutir berlian sinar
Lalu
berdiri di batu karang ini
menghuni rumah hamparan pasir
mengawal gelora samudera
menjaga daratan pulau benua
di bawah kolong angkasa
dan harus setegar baja
Aku seorang transgender
berdiri di batu karang
pada hamparan pasir pantai
antara bibir samudera
dan daratan pulau benua
Membawa seberkas kristal cahaya
berkelana arungi luas samudera
Menggenggam sebutir berlian sinar
mengembara lintasi pulau benua
Aku terus senyum melangkah
menyulam jawaban atas tanya
Siapakah aku ini
Mengapa hadir ke dunia ini
Simply da Flores Harmony Institute