Siapa pun yang menjadi presiden dan duduk di istana akan melakukan hal yang sama. Mengakomodasi lawan politik. Kecuali jika niatnya membikin konflik terbuka yang berdampak pada keributan elite yang merusak program yang sedang dijalankan. Sehingga rakyat melihat para elite sibuk gontok gontokan.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
LAMAN berita dan opini Tirto.id menurunkan laporan berjudul “Politik Akomodatif Jokowi Tumpulkan Kritik dan Merusak Demokrasi” bernuansa kecaman serta kenegatifan dalam bungkusan kritik.
Menurut Tirto.id, selama hampir 10 tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Joko Widodo “sukses” mengacak-ngacak keberlangsungan demokrasi di Tanah Air lewat konsep politik akomodatif; merangkul lawan politik dan mereka yang berseberangan membangun koalisi gemuk. Tujuannya terang belaka: memaksimalkan dukungan atas kebijakan-kebijakannya.
Dengan memperkecil kekuatan oposisi, pembahasan atau evaluasi kebijakan pemerintah di DPR pun akan lebih mulus dan tidak banyak terhambat – demikian tulis Tirto.id.
Jokowi melakukannya sejak periode pertama (2014-’19) kepresidenannya. Pada periode berikutnya (2019-’24) bahkan merangkul lawan di ajang Pilpres; Prabowo Subianto dan Partai Gerindra ke kabinetnya. Memberi jatah menteri dan wakil menteri. Bahkan jumlah dan posisinya melebihi partai yang sejak awal mendukung seperti seperti Perindo, PSI, PKPI, dan Hanura. Jokowi terkesan lebih sayang pada partai lawan ketimbang partai pendukungnya sendiri.
Mungkin di antara Anda ada yang ingat saat ketua partai seberang kampanye garang; “Insya Allah kita akan tumbangkan Jokowi dan segera punya presiden baru! ” tekadnya. Nyatanya, setelah dirangkul dia bungkam. Apalagi setelah dilantik menjadi Menteri Perdagangan di istana.
Demikian halnya SBY yang kerap “prihatin” mengelus dada, sedih, gundah gulana, karena rusaknya demokrasi di tangan Jokowi. Tapi berubah menjadi senyum ketika anaknya, Agus Harimurti (AHY) dapat posisi Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), meski hanya beberapa bulan.
Sebaliknya, PDIP berang dan kini berbalik menjadi musuh, setelah ditinggalkan. Segala makian, kecaman dan ujaran kebencian, diteriakkan seperti koor para politisinya – yang semuanya bernada antipati pada Jokowi. Sembilan tahun masa kemakmuran di kekuasaan, hangus dalam setahun karena ditinggalkan. Menjadi dendam kesumat .
APA ARTINYA ?
Artinya partai hanya sarana pencari kekuasaan dan pencari konsesi demi kesejahteraan sendiri. Itulah respon saya pada artikel dan sorotan Tirto.id.
Program pemerintah bagus dan tidak bagus, didukung atau tidak didukung – bergantung apakah mereka (partai dan politisi) kebagian atau tidak kebagian. Diuntungkan atau tidak diuntungkan. Begitu mendapat konsesi dan jatah di kementrian dengan proyek proyeknya, mereka langsung takluk.
Jelas sekali: partai bukan berjuang untuk rakyat, bangsa dan negara. Melainkan untuk kepentingan pemimpin partai sendiri; Ketum dan para hulubalang politisinya.
Rakyat hanya diatas-namakan. Itulah yang tidak ditulis oleh Tirto.id.
Laman berita kritis ini hanya sibuk menyoroti Presiden Jokowi, ketimbang membahas partai dan para politisi korup yang memanfaatkan kekuatannya.
Demokrasi dan budaya kritik sejauh ini hanya untuk menyudutkan presiden. Mereka gigih mengritik lantaran Jokowi tak menyoal segala kritik. Dibiarkan saja. Media mengutip suara mereka yang tak kebagian kekuasaan. Tidak dapat proyek APBN.
Setelah kebagian, mereka pun bungkam. Diam seribu bahasa.
Tirto id menyebut, hanya PKS yang hingga kini masih tetap menjadi oposisi bagi pemerintahan Jokowi jilid II. Padahal PKS sedang merengek kepada Presiden Terpilih agar diajak!
PRESIDEN Jokowi berkepentingan keberlanjutan pembangunan dan proyek proyek jangka panjangnya, seperti IKN. Banyak proyek bernilai triliunan – bahkan ratusan triliun – yang sewaktu waktu bisa dihentikan dan di-mangkrak-kan bila tidak dirawat dengan politik akomodasi.
Karena itu, suara berisik para politisi yang tak kebagian dibungkam satu per satu. Dan ternyata yang dibungkam mau dan tunduk. Kasus terakhir di Partai Golkar, misalnya, terasa dilematis; menolak mundur diusut kasusnya. Atau terus menjadi menteri dengan menyetujui agenda yang sudah disepakati, tanpa banyak tanya lagi.
Siapa yang salah?
Siapa pun yang menjadi presiden dan duduk di istana akan melakukan hal yang sama. Kecuali jika niatnya membikin konflik terbuka yang berdampak pada keributan elite yang merusak program yang sedang dijalankan. Sehingga rakyat melihat para elite sibuk gontok gontokan.
Lalu rakyat dapat apa dari politik akomodatif yang dijalankan Jokowi?
Rakyat dapat stabilitas, ketenangan dan kerukunan – rutinitas kerja dan beraktifitas; tidak terpecah belah karena perbedaan pandangan yang mengkristal di atasnya. Segala kebutuhannya terpenuhi meski harus melihat sebagian elitenya memperkaya diri dan mementingkan kelompoknya sendiri.
BAYANGKAN seandainya Jokowi tidak merangkul dan mengakomodasi Prabowo. Dan Prabowo kukuh di kubu oposisi. Begitu banyak program pembangunan yang diganjal di parlemen oleh kader kadernya. Terus ribut tak jelas, terus cakar cakaran, gontok gontokan, saling mengerahkan massa. Tawuran di mana mana.
Kasus Anies Baswedan dan Ahok BTP contohnya. Keributan di atas merembet sampai ke kampung dan warga pelosok. Muncul “ayat mayat” – halal haram pada kandidat. Dan masih terasa traumanya hingga kini. Karena itulah, ada dorongan sekuat tenaga agar Anies tidak mencalonkan diri di Jakarta. Kegemarannya memanfaatkan politik identitas berpotensi merusak kerukunan bangsa. Membuka konflik horisonsal.
Menurut Tirto.id, dampak merangkul lawan-lawan politiknya merusak demokrasi. Pasalnya, gemuknya koalisi pendukung di DPR membuat suara-suara kritis atau penyeimbang kebijakan pemerintah menjadi tumpul.
Dia mengutip analis politik dari kampus, yang menganggap politik akomodatif itu justru lebih kental nuansa negatifnya. “Menurut saya, ini model pemimpin yang terjahat yang ada di demokrasi. Bahkan saya menghindari glorifikasi bahwa dia politisi pintar,” tegas Kunto Adi dari Univ. Padjadjaran. Dia makin murka karena di pengujung masa kepemimpinannya, Jokowi lagi-lagi memberi konsesi tambang kepada ormas-ormas keagamaan.
ADA banyak pengamat, aktifis, pejuang demokrasi yang menempatkan demokrasi sebagai tujuan. Ribut demi demokrasi, konflik demi demokrasi. Warga tawuran sesamanya atas nama demokrasi. Masyarakat maki maki dan bebas bicara demi menegakkan demokrasi.
Sedangkan Jokowi, hanya berpikir bagaimana meneruskan program jangka panjang pembangunannya. Seperti Lee Kuan Yew saat membangun Singapura. Mereka yang nyinyir disumpel selagi bisa. Atau “dirawat” oleh KPK dan Kejaksaan Agung, kalau tidak bisa didiamkan.
Jokowi berhasil merangkul Prabowo, membikin senyum SBY, rutin menyambangi keluarga Gus Dur. Meski membuat Megawati Sukarno murka karena kadernya hanya dapat 16%. Itu pilihan Jokowi.
Di jalanan, Rocky Gerung, Said Didu, Refly Harun, Faisal Assegaf dibiarkan teriak teriak di mimbar bebas.
Ibarat raja hutan di belantara, singa tidak menggubris gonggongan anjing.
Jokowi adalah singa sejauh ini. Silakan tebak siapa saja anjingnya..*.