Catatan Henri Nurcahyo
Isteri saya tiba-tiba sesak nafas. Saya sempat gelisah. Jangan-jangan…… Kemudian ada teman yang biasa melakukan terapi memijat-mijat punggungnya. Lumayan. Sudah baikan. Saya tanya sebabnya, “kenapa?” Katanya dia terlalu memikirkan berita duka yang datang bertubi-tubi. Tanpa dia sadari perasaan sedih dan takut mengendap dalam dirinya sehingga merasa tertekan dan kemudian sesak nafas.
Sejak saat itu saya tidak berani lagi memberi tahu kabar duka padanya. Apalagi menyangkut orang yang saya kenal, teman dan sahabat saya, meski istri saya tidak mengenalnya secara langsung. Untungnya istri saya bukan penggemar media sosial yang nyaris tanpa berita duka. Tetapi berita duka masih terdengar dari corong toa dari mushola dan masjid dekat rumah. Ada saja kabar tetangga meninggal dunia. Istri saya mengenalnya dengan baik. Dan di situlah istri saya sedih yang kemudian mengendap dalam dirinya hingga menjadi potensi sesak nafas kembali.
Dalam masa pandemi ini memang berita duka datang bertubi-tubi. Dalam satu hari bisa beberapa nama sekaligus berpulang ke penciptanya. Mungkin tidak seberapa respon kita ketika tidak mengenalnya. Kalau yang meninggal figur publik, ada pengaruh sedikit. Tetapi ketika yang meninggal dunia adalah orang-orang yang kita kenal dengan baik, sahabat, saudara, bahkan orang dekat kita, mau tak mau pasti sedih. Padahal, kesedihan menjadi salah satu penyebab turunnya imunitas tubuh. Jadi sebaiknya bagaimana?
Saya tidak ingin mengritik orang lain. Introspeksi saja. Saya sendiri kadang merasa “bangga” ketika menjadi orang pertama atau yang awal memberitakan ada kawan meninggal dunia. Meski kalimat-kalimat yang saya tuliskan berisi ucapan duka cita. Apalagi yang meninggal figur publik. Lantas saya memajang foto kenangan bersama almahum-almarhumah. Saya juga “bangga” ketika postingan berita duka saya itu “disukai” ratusan viewer dan komentator. Namun belakangan saya sedih dan merasa berdosa dengan kebanggaan tersebut.
Dalam badai pandemi sekarang ini berita duka menjadi hal yang biasa. Lantas apakah kita tidak boleh bersedih? Saya merasa “bersalah” ketika ada berita duka namun saya merasa biasa-biasa saja dan malah mencoba semangat. Bagaimana caranya agar gempuran berita duka ini tidak menyebabkan imun turun?
Saya mencoba ikut webinar self-healing yang mengajarkan meditasi untuk menenangkan diri, mengendalikan emosi, mendapatkan ketenangan. Saya ikuti kata-kata pelatihnya. Namun masih belum bisa membantu mendapatkan ketenangan ketika berita duka datang lagi, dan datang lagi.
Saya juga mencoba ikut kelas senam Taichi secara daring. Ini bukan senam pernafasan, katanya, tapi bagaimana cara mengendalikan pikiran. Tapi ternyata yang diajarkan adalah bagaimana melakukan gerakan-gerakan dengan sekian banyak jurus yang terus terang sulit saya praktekkan. Setelah beberapa kali ikut kelas Taichi ini saya mengambil kesimpulan sendiri, bahwa pada dasarnya bukan teknik gerakannya itu yang harus ditirukan, tetapi bagaimana kita menggerakkan anggota tubuh dengan penuh penghayatan. Kita amati dan rasakan apa saja yang bergerak, perlahan-lahan, sekecil apapun, bahkan hanya lirikan mata.
Lantas saya teringat retret meditasi Vipassana yang pernah saya ikuti tahun 2011 di Bali. Ah, sudah 10 tahun berlalu. Mengapa saya tidak mencoba berlatih lagi? Prinsip Vipassana adalah here and now. Jangan berpikir apapun, jangan membayangkan apapun, konsentrasi saja dengan apa yang kita lakukan. Berjalan perlahan, amati gerak tangan, gerak kaki, gerak tubuh.
Kemudian saya juga teringat Suprapto Suryodarmo dari Solo, yang meninggal dunia dua tahun lalu. Mbah Prapto mengajarkan Movement Art yaitu menggerak-gerakkan seluruh bagian tubuh dengan penuh penghayatan. Seperti menari tapi bukan menari. Kita merespon apa yang digerakkan, dirasakan, dilihat, didengar dan sebagainya. Ini pasti bertolak Vipassana karena Mbah Prapto seorang Buddhis. Ternyata teknik ini banyak disukai orang-orang dari mancanegara sehingga mereka banyak belajar di Padepokan Lemah Putih milik Mbah Prapto. Bahkan lelaki santun itu bisa berkeliling dunia mengajarkan “gerakan-gerakan aneh” itu.
Saya memang tidak pernah belajar secara khusus pada Mbah Prapto, namun pernah mengikutinya dalam beberapa acara di Candi Sukuh, Candi Sumber Awan, Candi Jalatunda, Candi Plaosan, dan Borobudur, ketika mbah Prapto melakukan Movement Art. Didorong ketakutan imunitas turun di tengah gempuran berita duka, belakangan ini saya berlatih sendirian, meski tidak setiap pagi. Saya percaya bahwa Movement Art dapat meningkatkan imunitas.
Beberapa hari yang lalu, saya kontak Halim Hade, menantu Mbah Prapto. “Tiba-tiba saya teringat Mbah Prapto. Bagaimana kabar padepokan Lemah Putih? Apakah tidak ada aktivitas sama sekali? Saya kok kepikiran bikin semacam jaringan via online untuk menyebarkan gerakan yang diajarkan Mbah Prapto. Pikiran ini muncul karena sejak Pandemi ini muncul beberapa klas online senam taichi, meditasi dll.”
Sayang sekali Halim sedang sibuk masak, katanya. Ya sudah, saya latihan sendiri saja. Bismillah.
Henri Nurcahyo Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan. Penggerak Budaya Panji. Tinggal di Sidoarjo, Jatim