Oleh SYAEFUDIN SIMON
Kalo melihat agama dari perspektif antropologis, historis kulturalis, sosial konfliktis, dan migrasi etnis — kayaknya agama-agama itu muncul sebagai respon manusia terhadap perubahan sosial dan budaya. Karena itu tidak perlulah umat beragama tertentu merasa lebih benar dari umat beragama lain.
Perpindahan agama, misalnya, tak perlu dipandang sebagai kesesatan atau murtad. Migrasi agama adalah respon sosial budaya atau psikologi seseorang terhadap kehidupan lingkungannya.
Perpindahan agama, terkadang dibutuhkan untuk adaptasi kultural, sosial, dan psikologis seseorang dari lingkungan terdekatnya. Jadi menjadi murtad sering sekali merupakan jalan penyintasan (keselamatan) seseorang agar tetap survive.
Temanku, Johar, misalnya pindah agama dari Islam ke Katolik. Pernah kutanya, kenapa? Belakangan setelah belajar ilmu tasawuf, Johar mengatakan, bahwa kehidupan tasawuf yang terlembagakan dari tingkat bawah sampai atas — bahkan kemudian menjelma jadi institusi negara — hanya ada di Katholik.
Vatikan adalah kota modern yang tumbuh dengan konsep asketisme dan simbolisme keilahian. Muslim boleh tidak setuju dengan mengungkap kebobrokan moral di internal Vatikan. Tapi bercerminlah — apakah kehidupan kota Mekah dengan penguasanya lebih baik dari Vatikan?
Mungkin itulah sebabnya, seorang ulama asketis besar dari Iran, Ruhullah Imam Khomeini, sangat dekat dengan Paus-Paus di Vatican ketimbang para pemimpin agama di Hijaz (Saudi Arabia). Kota suci Qom tampaknya punya kedekatan psikologis dengan Vatican, meski platform ajaran agamanya berbeda.
Dengan memahai perspektif agama dari aspek-aspek tersebut, tercetus pernyataan yang mencengangkan dari Buya Syakur Yasin: Jangan takut murtad. Asalkan kemurtadan itu lebih baik untuk kehidupan individual dan sosial kultural seseorang.
Sebab penilaian akhir seorang manusia — apakah masuk surga atau neraka — adalah hak prerogatif Tuhan.
Wilayah manusia yang pasti baik di mata Tuhan adalah amal saleh untuk kemanusiaan. Semua agama sependapat dengan hadis ini: manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya. Titik. Semua agama pasti setuju.
Karena itu, orang yang mengaku paling benar hakikatnya adalah orang yang mengaku paling berkuasa. Persis seperti dinyatakan filsuf Prancis Foucault — bahwa orang yang merasa paling benar sesungguhnya sedang mengklaim diri sebagai orang paling berkuasa menentukan segalanya; seperti Firaun yang mengaku sebagai tuhan.
Murtad dalam pandangan Islam konvensional dianggap perbuatan yang sangat keji. Orang yang murtad dianggap berdosa besar dan harus dibunuh. Rasul dan Allah pun, menurut kaum Islamis, mengutuk orang-orang yang murtad tersebut.
Kini, konsep murtad berkembang lebih jauh. Kaum islamis menabalkan kemurtadan bukan hanya terhadap orang yang migrasi agama dari Islam ke Kristen (maaf tidak untuk sebaliknya, mualaf), tapi juga dari mazhab satu ke mazhab lainnya.
Kaum Sunni, misalnya, menganggap — orang Aswaja (ahlussunah waljamaah) yang pindah ke mazhab Syiah adalah murtad. Bagi sebagian kaum Sunni dan Salafi Wahabi, Syiah itu bukan Islam. Tapi entitas agama lain.
Padahal, founding father kaum Syiah adalah Ali bin Abi Thalib — orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Ali adalah sepupu sekaligus menantu Nabi. Celakanya, orang-orang yang kini mengaku paling Islam — yaitu kaum Aswaja dan Wahabi — kemudian banyak yang menjadi musuh keluarga Rasul. Khalifah Umar saat berkuasa, misalnya, membunuh ribuan kaum Syiah di seluruh negeri.
Dalam perjalanan kekhalifahan Bani Umayya, orang Syiah itu dianggap kafir. Mereka diburu dan dibunuh. Puncaknya, Sayyidina Husein, cucu Nabi, dibunuh Yazid, panglima tentara Muawiyah, 10 Muharam 61 Hijriyah.
Kepala Husein ditancapkan di ujung tombak dan diarak ke seluruh pelosok negeri. Kejam. Sungguh kejam kaum Sunni kepada pemimpin Syiah saat itu.
Kejadian tragis pembantain cucu Rasul dan pengikutnya di Karbala Irak itu, kini dianggap hari suci oleh kaum Syiah dan dirayakan setiap tahun pada tanggal 10 Muharam.
Relevansi pernyataan Buya Syakur “Jangan Takut Murtad” tersebut implikasinya sangat luas. Terutama dalam upaya mencari kebenaran matan (konten) dari suatu dogma dan ajaran yang dianggap baku dalam Islam.
Harap dicatat sebagian besar tafsir dan hadist yang ada saat ini dibuat zaman prahara tersebut. Yaitu zaman Islam diperintah oleh para Khalifah baik Umayya maupun Abbasiya.
Di zaman itu pula, Qur’an dikodifikasi menjadi pedoman hidup yang baku. Motor kanonisasinya adalah Marwan bin Malik, Khalifah Muawiyah yg ekspansionis.
Untuk mem-brainwash pasukannya agar merasa berjihad di jalan Allah bila menyerbu negara lain yang non Islam, seperti ditulis Munim Sirry, para jenderal Malik bin Marwan membuat ayat-ayat Qur’an provaktif untuk memerangi negeri non-muslim.
Dan jangan kaget, bila Qur’an yang kini dianggap suci oleh umat Islam bisa jadi, Qur’an yang dikanonisasi (dijadikan pedoman hukum) oleh Khalifah Marwan bin Malik tersebut.
Itulah sebabnya Buya Syakur menyatakan, Qur’an bukanlah pedoman. Tapi argumen. Bila itu argumen, tafsir pun berkembang, sesuai zaman dan ilmu pengetahuan. Demi mencari kebenaran tafsir tersebut, Buya Syakur menyatakan “jangan takut dituduh murtad”. ***