Foto : Stocksnap/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
“Orang yang memendam api kebencian, laksana penenggak racun, lalu mengharapkan racun itu akan membunuh musuhnya.” Nelson Mandela
Ada dialog interisan, antara dua orang yang sama-sama pernah mengalami kejahatan di kamp konsentrasi Nazi, Jerman.
“Apakah Saudara sudah memaafkan para tentara Nazi?”
“Ya, saya sudah.”
“Kalau saya, belum. Saya masih memendam kebencian pada mereka.”
“Wah, jika begitu, mereka masih memenjarakanmu, dong.”
Di seluruh jagad hidup ini, dari zaman ke zaman, kebencian serta dendam, ternyata masih hidup dan berkeliaran di dalam hati manusia.
Akar serta bara api kebencian itu ternyata sungguh erat melekat di dalam ingatan manusia.
Dia, bagai racun maut yang terus menggerogoti sanubari manusia.
Padahal, Tuhan telah berseru dari atas palang salib, “Bapak, ampunilah mereka, karena mereka tidak mengerti, apa yang mereka lakukan.”
Atau juga, pada seruan, “Engkau harus ampuni Saudaramu, 70 X 7 kali.”
70 kali 7 kali, bermakna “ampunilah, dan ampuni, dan terus ampuni, artinya terus, terus, dan terus mengampuni.
“Bagaimana hidup kita serta pengalaman menerapkan praktik hidup mengampuni?
Ternyata, tidak gampang untuk dilaksanakan. Seruan Tuhan serta himbauan pengkhotbah pun, ternyata belumlah memadai bagi hati manusia.
Makhluk manusia, lewat kodratnya, ternyata cenderung untuk mendendam dan bercokol dalam api kebencian.
Marilah kita sehati sejiwa memohon kemurahan Tuhan, Sang Pengampun nan maharahim, agar sudi melenturkan serta melunakkan bara api kebencian di dalam hati kita.
“Tuhan,
ampunilah kami, karena kami ternyata, belum sanggup menerapkan seruan-Mu agar segera mengampuni kesalahan sesama kami, amen.”
Malang, 28 Agustus 2022