Mengangkat Martabat Penyandang Disabilitas di Resto Cafe

Cafe Dignityku-01

Hendra Warsita, pakar IT yang lama tinggal di Kanada ini, tak menginginkan para difabel dikasihani. Juga tak menampung kaum difabel sebagai karyawan formalitas, bagian dari syarat usaha. Dia sungguh sungguh ingin memberdayakan mereka dan mendorong mereka agar mandiri. “Sesuai namanya supaya mereka bermartabat dengan keterbatasannya. Ada dignity, ” tegasnya.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

AKTRIS film dan teater senior Niniek L Karim mempertemukan dan memperkenalkan kami saat bersama sama menghadiri acara diskusi di Museum Tanah dan Pertanian di Jl H. Juanda 98 – Bogor, beberapa waktu lalu.

“Mas, dia ini orang hebat, lho. Punya cafe tapi yang melayani difabel. Musti diekspos, ” kata Mbak Niniek, dengan semangat. Saya mengangguk dan kami bersalaman. Hendra Warsita, namanya. Sosok pensiunan yang bugar. Segera mendapat kesan keramahan saat menjabat tangannya.

Resto cafenya itu, katanya, dia bangun setelah pensiun dari Mark Plus, perusahaan konsultan marketing dan branding milik Hermawan Kartajaya – yang kondang itu.

“Setelah pensiun saya bangun usaha sendiri. Setelah mikir mikir akhirnya dapat cafe yang dioperasikan para difabel itu, ” katanya riang.

Kok milih yang tidak biasa? Dan sulit? “Kalau bisnis yang biasa bukan untuk Mark Plus. Orang Mark Plus harus out of the box, ” selorohnya. “Main dong ke sana. Lihat sendiri, ” ajaknya.

Saya mengira undangan basa basi saja. Setelah bertukar nomor, esoknya seorang staf menghubungi. “Kapan berkunjung?” Saya bersemangat.

RESTO CAFE saat ini sedang marak di kawasan hunian, area bisnis dan mall, seiring banyaknya orang yang bekerja dari café atau disebut WFC (Work From Café). Dengan reputasi dan jaringan bisnis yang dia miliki, kalau dia mau, dia bisa bikin di kawasan mana saja, dan mudah cari investor atau dana sendiri. Banyak relasinya dan dia punya integritas. Tapi Hendra Warsita memang lain dari yang lain.

“Saya memikirkan bisnis yang tak sekadar bisnis. Ada unsur sosialnya, ” kata pria Tionghoa kelahiran Surabaya ini saat menyambut kendatangan kami di cafenya, di Jl. Sepat no.22 – Kebagusan, Jakarta Selatan. Para pengamat menyebut ‘Socioprenuer’ – wirausaha berdimensi sosial.

“Ya! Pak Hermawan ngajak saya bikin Socioprenuer juga. Saya tolak. Tebakan saya, paling dukung ‘Startup’? Saya mau bikin sendiri sesuai passion saya, ” katanya. Dia sengaja membuat nama Dignityku. ”Soalnya kalau makai ‘MyDignity’ – dengan ‘My’ di depannya – nanti dikira perusahaan Malaysia, ” katanya terkekeh.

Hendra Warsita, pakar IT yang lama tinggal di Kanada ini, tak menginginkan para difabel dikasihani atau minta dikasihani. Juga tak menampung kaum difabel sebagai karyawan formalitas, bagian dari syarat usaha. Dia sungguh sungguh ingin memberdayakan mereka dan membuat mereka mandiri. “Sesuai namanya supaya mereka bermartabat dengan keterbatasannya. Ada dignity, ” tegasnya.

Pria 70 tahun dengan latar belakang insinyur sipil tapi pakar branding dan marketing ini, memikirkan, bagaimana memberdayakan kaum difabel. Khususnya tuna rungu dan tuna wicara. “Mereka sama seperti kita. Seutuhnya. Hanya kesulitan komunikasi saja, ” katanya. “Saya mendorong saudara saudara kita yang difabel mengembangkan potensi dan keterampilannya. Memaksimalkan kemampuan melebihi keterbatasannya, ” begitulah tekadnya.

Maka dia membangun bisnis itu; resto cafe dengan sebagaian pekerjanya kaum tuna rungu dan tuna wicara. Sejauh ini masih 5 : 5 , dengan kaum normal. Kelak, lebih banyak difabel yang terlibat ketimbang kaum normalnya. Dan menjadi pilot project bisnis yang sama di kawasan lain.

Selain melayani tamu sebagai waiter, para tuna rungu dan tuna wicara juga duduk di belakang kasir, dan di dapur, menjadi juru masak (chef) dan peramu kopi (barista). Yang unik, selain meramu kopi dan minuman lain juga meramu jamu. Khas Indonesia. Khas Dignityku.

Sebelumnya, Dignityku memberikan program pelatihan gratis kepada teman-teman penyandang disabilitas. Ada studio dan ruang dapur modern dari Modena, produk alat dapur canggih dari Italia di resto cafenya. Mereka yang lulus 2 bulan pelatihan gratis, memperoleh sertifikat dan bisa kerja di Dignityku atau ke cafe lain atau kerja di hotel .

“Banyak alumni pelatihan kerja di hotel dan cafe, ” katanya bangga. DignityKu yakin, olahan kuliner dan layanan penyandang disabilitas sama kualitasnya dengan karya-karya teman-teman normal dan dapat dihadirkan untuk semua kalangan. “Kalau meramu kopi atau makanan, chef tunarungu dan normal kan sama. Cita rasa dan lidahnya sama juga, ” katanya.

Sebelum beroperasi, ayah dua anak dan kakek tiga cucu ini merekrut siswa lulusan sekolah luar biasa (SLB) dan menerima lamaran dari para orangtua. “Tidak semua kami terima. Karena untuk kerja ini, minat penting. Banyak yang sekadar mau kerja, tapi sebenarnya tak terlalu tertarik dengan bidang ini . Jadi ada seleksi juga, ” katanya.

Hendra Warsita (kemeja hitam, kiri) dan kaos kuning (kanan) membangun cafe resto untuk mendorong kemandirian para penyandang difabelfoto : instagram dignityku.

LOKASI cafe dan restonya bersebelahan dengan Studio Sepat di kawasan Kebagusan, tak jauh dari stasiun KRL Tanjung Barat, Pasar Minggu di Jakarta Selatan. Studio Sepat milik Pak Hendra juga? “Bukan, lain orang, ” elaknya, dengan tawa.

Beroperasi dari pk. 11.00 hingga 22.00 di kawasan hunian yang banyak pepohonan, suasana resto cafe Dignityku tenang dan sejuk, sehingga pengunjung betah berlama-lama di sini. Tersedia area parkir yang lumayan besar di depan bangunan 600 m2 itu, sehingga tidak perlu khawatir apabila datang bersama teman-teman atau keluarga. Di ruang utama, pengunjung disambut lukisan karya seniman Indigo berusia 18 tahun yang membuat lukisan khusus untuk cafe Dignityku.

Makanan dan minumannya yang ditawarkan variatif, selain kuliner khas Indonesian juga Western Food. Layak dicoba jamunya juga yang diolah sendiri oleh teman tunarungu secara modern namun tetap dalam kultur tradisional. Jamu khas Dignityku.

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.