GESER, adalah singkatan dari Gerakan Seribu Rupiah – sebuah prakarsa komunal yang cantik, dengan misi membangunkan rasa kapang (eagerness) umat beriman untuk mau berbagi beban demi terwujudnya mimpi bersama, sebuah papan untuk bersujud dan bersyukur, gereja namanya.
Eman banget, sayang sekali, usianya belum genap empat tahun, pijar GESER itu telah redup.
Sampai hari ini belum dapat saya mengerti “mengapa GESER itu geseh”. Padahal, setangkapan nalarku yang sederhana ini, GESER tidak semata menjaring receh, akan tetapi adalah cara cerdas membangunkan roh komunal umat di sanberna dengan pondasi ketulusan, cinta, empati, totalitas, tiap warga komunitas, sebagai modal terpenting dan paling berharga dalam mewujudkan mimpi itu.
Papan bersujud — bersyukur komunal yang dibangun bermodalkan ketulusan, cinta, empati, rasa kapang berbagi dari semua warga, niscaya akan membawa kesembuhan, kedamaian dan sukacita.
Mungkinkah GESER itu akan berpijar lagi?
Ada GESER lain yang sudah berusia 40 tahun, lahir di Papua. Kelahiran GESER itu dibidani oleh seorang dokter Katolik, namanya Fransiskus Xaverius Soedanto. Dia lahir di Kebumen, usia 74 tahun, bertugas di Abepura, Papua.
Sang dokter dikenal dan dicintai karena melayani pasiennya hanya dengan tarif seribu rupiah. Bahkan, sering dia menerima pasien yang hanya memberikan ucapan terima kasih sebagai balasan.
Semua warga di Jayapura, Ibu Kota Papua telah dengar tentang, “dokter seribu rupiah”. Bukan hanya karena sudah 40 tahun dia melayani di Jayapura, tapi karena hati emasnya. Di mata masyarakat, dokter ‘seribu rupiah ini adalah malaikat penolong yang hadir di bumi mereka.
Dalam sebuah acara TV dikisahkan, tak sedikit pasien yang “langsung” sembuh hanya dengan bertemu sang dokter. Rasa percaya, hormat, sayang, pada sang dokter melahirkan “keajaiban”, kesembuhan begitu saja. Jika aku dapat menyentuh jumbai jubah-Mu saja, maka aku akan sembuh
Inti pesannya sederhana, (namun langka di zaman ini, karena sudah banyak digeser dan digusur oleh motif-motif lain), bahwa: ketulusan, cinta, empati, totalitas, akan melahirkan rasa percaya, hormat, sayang, pada siapa atau apa yang dilakukan dan akan melahirkan “keajaiban” kesembuhan seutuhnya.
Oleh karena itu, melayani seharusnya tidak berada di bawah kendali siapapun atau apapun–kecuali cinta dan kesetiaan melakoni kehendak-Nya.
Ketika ditanya sampai kapan dia akan melayani, jawabannya menggetarkan, “Sampai saya tak sanggup melakukannya lagi…“
Ah … benar menggetarkan…
Salam sehat dan siap berbagi cahaya sampai tak lagi bercahaya.
Penulis Jlitheng