Seide.id – Sejak SMA dulu saya suka menulis karena menulis menyenangkan. Waktu mahasiswa saya membaca, ketika itu tahun 75-an, kemampuan menulis kita tidak sebagus sepantarannya di negara maju. Prancis khususnya. Menulis bukan saja pelajaran wajib di sekolah, melainkan sudah menjadi tradisi. Boleh jadi budaya menulis.
Bidang apapun yang digeluti, menulis syarat wajib dikuasai. Ada perbedaan bercakap-cakap dengan menulis. Bercakap-cakap bisa lebih mengalir, karena ekspresi bisa lebih spontan, dan improvisasi. Sejak kecil kita sudah terbiasa bercakap-cakap, bercerita, mengadu, melaporkan, dan bercengkerama. Tidak demikian dengan menulis.
Ada beberapa teman yang takut menulis. Bahkan mereka yang terpelajar, karena takut salah. Makin ada ketakutan salah saat menulis, makin sukar memulai untuk menulis. Bahkan sedemikian gamang memilih kata-kata awal, yang niatnya ingin formal, karena menulis dianggap resmi, ini menjadi kesukaran tersendiri.
Kalaupun berhasil menulis, penulisannya menjadi kaku, karena terlalu tertib memilih kata, dan menyusunnya. Pengakuan pengasuh rubrik opini Kompas ketika itu, misalnya, mengeluhkan kaum sarjana, bahkan profesor, menulis opini untuk media massa, dibacanya kaku, formal, nyaris seperti menulis skripsi.
Belakangan format dan gaya menulis ilmiah, maupun non ilmiah, tidak harus sekaku dulu lagi. Ada nuansa sastra di dalamnya. Lebih enak dibaca.
Itu maka jurnalisme Majalah Tempo misalnya, memprakarsai, jurnalisme enak dibaca dan perlu. Penulisan berita yang dengan berbahasa sastra, yang tidak selalu tertib gramatika seakan berpihak pada licentia poetika, yang penting tertangkap maknanya.
Menulis dan menulis jelas ada dua. Yang formal untuk kenegaraan, ilmiah, dan menulis untuk berita, dan tulisan nonfiksi. Sekarang saya mengamati, semakin ada kecenderungan menulis yang enak dibaca.
Menulis lebih dari sekadar berbicara, karena dalam menulis perlu bersistematika menuangkan isi pikiran secara runut. Tulisan bukan perkara teknis menulis semata, terlebih ada nuansa, ada rasa, ada kembang-kembang di balik makna yang hendak ditulis.
Orang yang terbiasa menulis, melatih otaknya untuk senantiasa tertib dalam bersistematika pikirannya. Demikian pula ketika mereka berbicara, bila terbiasa menulis, akan lebih sistematika ungkapannya. Lebih runut, mengalir dan tidak meloncat loncat isi pikirannya, melainkan deras mengalir.
Jadi ajakan sahabat Kurniawan Junaedhie dan Bu Guru Julia Utami mengundang siapa saja untuk ikut bergabung menulis dalam buku Menulis Dari Rumah, dengan tema-tema tertentu, ini upaya yang mulia, saya kira. Masyarakat siapa pun dia, terdidik atau tidak, sarjana atau bukan, apa pun bidangnya, eloknya berlatih menulis untuk menjadi terbiasa menulis, menata cara berbicaranya.
Bagi yang masih awal, masih pemula, dan belum terbiasa menulis, kegiatan menulis baru sebatas teknis menulis, belum bicara isi. Biarlah lebih terampil menulis dulu. Menata paragraf, memilih kosa kata, menempatkan tanda baca, dan setelah teknik ini dikuasai secara benar dan baik, baru mulai mengasah isi.
Menulis menjadi bagus, menjadi indah, apabila penulisnya juga banyak membaca. Perbendaharaan kosa kata untuk mengisi tulisan tak bosan membuka kamus Besar Bahasa Indonesia, selain memperkaya materi pokok, perlu kembang bahasa, perlu nuansa, selain rasa bahasa.
Semua itu menyehatkan kerja otak, selain kita lebih mampu bersistematis dalam berpikir, dan menyampaikan isi pikiran, yang runut, dan sampai pada pembacanya. Bila punya bakat menulis puisi, penyair apalagi, lebih luwes dan cekatan memilih kata dalam menulis prosa.
Yang sudah terbiasa menulis, dan sudah piawai, menulis menjadi pekerjaan yang otomatis, menjadi automatic writing, semacam keterampilan.
Saya menuliskan ini maaf bukan sombong, tak lebih dari 10 menit, dengan segala typo, dan masih ada yang bolong-bolong, karena memang tidak diedit lagi, keburu siap-siap berangkat jalan pagi. Sekarang yang Anda baca ini sudah saya edit, dan menjadi lebih tanpa salah ketik selain dilengkapi tanpa bolong-bolong.
Menulis apa saja, ada yang kita tinggalkan, warisan kenangan, lebih dari sekadar buku harian. Semua yang kita percakapkan, yang kita ucapkan, akan terbang hilang begitu saja tanpa bekas. Namun kalau ada yang Anda tuliskan, masih ada yang bisa orang kenang, sekalipun Anda sudah tidak di dunia fana ini lagi. Tulisan Anda akan abadi sepanjang masa.
Salam literasi,
Dr Handrawan Nadesul