Berat, teramat berat, bahkan kita mengalami kesulitan yang luar biasa! Ketika sukses mencapai puncak gunung, hidup ini dimudahkan seperti saat kita menuruninya.
Jangan bilang teramat sulit untuk memaafkan, mengampuni, mengasihi, bahkan mendoakan musuh yang telah mengkhianati dan menyakiti hati kita.
Semakin sulit mengampuni musuh, kita semakin sulit untuk melupakannya. Beban hidup ini semakin berat dan menyiksa. Ibarat penyakit kronis yang menggerogoti jiwa.
Mengasihi musuh itu bagai mendaki gunung. Tantangan terberat mendaki gunung itu bukan kesiapan phisik, melainkan mental.
Begitu pula saat kita mengasihi musuh. Bukan sekadar di mulut, melainkan hati kita yang berbicara.
Dibutuhkan kesadaran jiwa yang sesadar-sadarnya, bahwa manusia itu lemah dan tidak luput dari khilaf, salah, maupun berbuat dosa.
Tidak perlu menunggu seteru minta maaf, kita memaafkannya. Untuk memaafkan dan mengasihi musuh itu langkah utama kita adalah berani berdamai dengan diri sendiri.
Kita tidak perlu mengingat hal negatif yang dilakukannya, tapi mengingat kebaikan dan hal positif yang dimilikinya. Kita harus berani mengorbankan ego sendiri untuk mengambil hikmah dari peristiwa itu.
Sebagai orang beriman, mengasihi musuh itu hukumnya wajib, bahkan suatu keharusan yang harus dimiliki agar kita mempunyai keluasan hati untuk mengasihi sesama.
Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Kita pun dituntut untuk memiliki dan mengejawantahkan sifat keilahian itu dalam hidup kita sehari-hari. Mengasihi dengan ikhlas. (MR)