Seide.id -Lahir di Surakarta, 26 November 1948, Sarwendo, yang kemudian mengubah namanya menjadi Arswendo dengan cara memutar posisi huruf ‘S’ dan ‘A’ , dikenal sebagai penulis paling produktif di Indonesia seperti disemat oleh majalah Tempo.
Arswendo, atau akrab disapa dengan Mas Wendo, yang semasa hidupnya mampu bekerja dengan tiga komputer sekaligus -itu pun masih bisa diajak ngobrol, pada masanya pernah jadi pribadi yang sangat fenomenal.
Sebutan itik bertelur emas pernah disandangkan pada suami Agnes Sri Hartini ini karena apa pun media yang ia lahirkan saat berada di Kelompok Kompas Gramedia, sukses.
Kepiawaiannya dalam menulis tidak perlu diragukan lagi. Sejumlah karya besar semisal , Canting, Dua Ibu, Sang Pemahat, Senopati Pamungkas dan segudang lainnya telah ia lahirkan dan mengisi khazanah dunia literasi Indonesia.
Menulis memang sudah menyatu dengan jiwa sastrawan penyabet Penghargaan Sastra Asean 1987 ini.
“Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya menulis, ” begitu ujar ayah dari Sony, Pramudya dan Caecilia.
Nonstop
Mencermati bagaimana keseharian raja tabloid ini di rumah tentunya menarik.
“Di rumah itu hanya ada dua suara mesin yang terdengar. Yang satu suara mesin tik Bapak dan satunya lagi suara mesin jahit Ibu, ” tutur puteri bungsunya Caecelia yang disebut duplikat Arswendo karena ketertarikkannya pada dunia media.
Sejak kapan mesin tik itu akan berbunyi?
“Yo, masnya kalau pulang kantor yang dicari bukan makanan tapi mesin ketik. Kalau waktunya makan musti diingetin.. Melek mata juga begitu, ” tutur Agnes, sang istri yang telah 48 tahun mendampingi Arswendo dalam suka dan duka sampai maut memisahkan.
Dua Sisi Arswendo
Melihat Arswendo seperti melihat keping mata uang bersisi dua.
Pada salah satu sisi dari penulis Keluarga Cemara yang filmnya memenangkan Piala Citra, ia adalah gabungan dari pribadi produktif yang sangat kreatif dan dengan laku ‘seenaknya.’
Pemenang Piala Citra untuk lagu tema, Harta Berharga, bersama Harry Tjahjono ini, kerap tampil semaunya.
Rambutnya gondrong acak-acakan. Garuk-garuk dan bisa ke mana saja dengan sandal jepit.
Sedang kalau bicara, logat Jawanya yang kental terdengar sampai lima kilo meter.
Gayanya yang khas, sangat kocak. Norak.. Suka ge’eran. Lucu sekaligus ‘menyebalkan.
Pada keping ini, Arswendo seperti pribadi yang tidak perduli pada sekelilingnya.
Sesungguhnya, ketika keping mata uang ada di sisi lainnya, apa yang nampak sangat bertolak belakang.
Sebagai pimpinan, Wendo sangat perduli pada karir dan kebutuhan anak buahnya. Bagi anak buahnya, penggemar gorengan tahu ini adalah idola mereka.
‘Slengek’an, tapi Wendo pribadi perduli yang welas asih. Ia menolong siapa pun bahkan yang tidak dikenal.
Itu terlihat saat ibadah Misa Requim untuk melepas kepergiannya di mana di antara pelayat yang penuh sampai di halaman gereja, hadir sosok-sosok yang bahkan tidak dikenal oleh keluarga Arswendo.
Mereka para pedagang asongan. Bahkan ada ibu-ibu tukang sayur yang khusus datang dari Bogor karena mendengar berita meninggalnya Arswendo.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih karena dulu ditolong pak Wendo. Dikasih modal buat dagang. Sekarang saya sudah sukses dan ingin mengembalikan modal yang pak Wendo berikan, ” ujar ibu tersebut dengan mata berkaca-kaca.
Tentu saja pihak keluarga menolak pengembalian ini.
Ketika Bersyukur Tidak Ada Hari Libur
Arswendo pribadi yang memberi tanpa pernah berharap balas. Ia selalu mensyukuri apa yang ia beri dan terima. Baginya, itu semua sudah lebih dari cukup.
Bahkan nyaris tidak masuk akal. Di saat tubuhnya sedang digerogoti kanker, dengan menahan sakit masih saja Arswendo teriak ucap syukur.
“Bersyukur tidak ada hari libur, ” ia tekankan itu pada keluarganya.
Pada anak buahnya ia ajarkan untuk melihat dari sisi pandang Tuhan
“Saya percaya, segala sesuatu adalah baik adanya, ” ungkap anak buahnya yang menganggap Arswendo adalah pimpinan, mitra kerja, guru sekaligus sahabat.
Apa Yang Kau Cari Arswendo?
Apa sebenarnya yang ingin Arswendo capai dalam hidupnya? Pertanyaan ini secara pribadi pernah dilontarkan oleh anak buahnya.
Mas, apa yang belum mas capai dalam hidup mas?
“Saya ingin jadi pembawa kabar baik,” ujar Wendo.
Di akhir hidupnya, sastrawan yang tetap menolong anak buahnya, masih berupaya menyelesaikan bukunya dengan pengetikkan dilakukan oleh anak- anaknya.
Barabas menjadi buku terakhir karya Arswendo. Buku yang tidak pernah ia lihat, tapi telah mengantar Arswendo pada titik akhir yang ingin ia tuju.
Arswendo memang telah pergi, kembali pada Tuhan. Tapi kepergiannya tidak sia-sia karena dalam perantauannya di dunia, ia telah meninggalkan harta berharga bagi dunia literasi Indonesia dan karya lainnya.
Bukan itu saja..
Ia juga banyak meninggalkan perbuatan baik. Lewat uluran tangannya, banyak yang berhutang budi pada Arswendo. Pertolongannya, baik pada anak buahnya mau pun pada pihak-pihak lain adalah sesuatu yang tidak mungkin dipungkiri.
Entah bagaimana harus membayar kebaikkan tersebut ?
“Tidak usah bayar balik. Teruskan kebaikkan, .. Itu cara membayar,” pesan Arswendo. (suricke)
IN MEMORIAM
Arswendo Atmowiloto
19 Juli 2019
(ricke senduk)