Tadi pagi saya dikejutkan oleh kabar kepergian Agus Riyono yang lebih populer dengan nama pena Endi Aras. Lagi lagi saya kehilangan seorang sahabat. Selamanya. Dipanggil Yang Memberi Hidup.
Endi Aras adalah seorang wartawan yang belakangan dikenal sebagai tokoh dolanan anak anak atau permainan tradisional dari berbagai daerah, dengan julukan “Bapak Gasing Nusantara”.
Dia memang berkiprah melestarikan Gasing Nusantara.
Dua tahun silam, tepatnya Kamis, 20 Juni 2019 lalu, saya menulis profilnya di media saya bekerja harian Pos Kota.
Dengan ketekunannya, lebih dari satu dekade – yakni 14 tahun, hingga 2019 – Endi Aras mencari dan mengumpulkan dan mengamati gasing. Endi belajar banyak tentang mainan tradisional ini, termasuk tentang nilai filosofisnya.
“Gasing bisa muter lama, karena dia seimbang. Sama dengan kehidupan manusia, kalau hidup manusia seimbang, itu hidupnya akan lama. Artinya kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, keadaan jasmani, keadaan rohani seimbang, itu bisa gak gampang sakit, terus semangat,” paparnya, sambil senyum.
Eddy Riyono alias Endi Aras sebelumnya dikenal sebagai wartawan majalah Film, grup Pos Kota namun kemudian terjun ke penyelenggara acara alias event organizer.
Tahun 2005 lalu menyelengarakan Festival Gasing Nusantara bersama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (sekarang Budaya dan Perekonomian Kreatif), dan sejak itu pria asal Salatiga, Jawa Tengah ini fokus mengamati, mengoleksi dan melakukan berbagai kegiatan yang menuju pada pelestarian gasing.
Hampir semua provinsi di Tanah Air mempunyai gasing, sebagai salah satu permainan daerahnya, dengan nama yang berbeda beda – bahkan beda kabupaten beda gasingnya. Temuan itulah yang mendorong Endi Aras Agus Riyono, 56, melestarikannya selama 14 tahun terakhir dan menjadikannya sebagai “Bapak Gasing Nusantara”
“Saya melestarikan semua permainan anak anak Nusantara, tapi memang gasing paling unik. Karena di semua provinsi, di semua daerah di Indonesia ada gasing, “ ungkapnya dalam obrolan dengan Pos Kota.
Menurutnya, di Indonesia gasing sangat beragam jenisnya. “Di Ambon, Manado itu bahkan bisa lebih dari 30 jenis. Di Jawa Tengah misalnya di Demak itu beda dengan di Pati, beda lagi dengan yang di Jepara,” ujar pria yang lahir di Blora, tapi besar di Salatiga, Jawa Tengah ini.
Meski demikian, gasing juga permainan tradisional yang sudah mulai jarang ditemui untuk dimainkan anak-anak Indonesia.
Beberapa budayawan bahkan menganggap bahwa gasing tradisional Indonesia sudah diambang kepunahannya bila tidak dilestarikan dan perlu untuk kembali dikenalkan pada masyarakat.
Semangat melestarikan gasing inilah yang kemudian mendorong Endi untuk mengoleksi setiap gasing tradisional yang ada di berbagai tempat di nusantara ke dalam koleksinya.
Tak sekadar mengumpulkan, Endi ternyata juga menggali sejarah, filosofi, dan cara bermain gasing tradisional yang makin lama makin terlupakan. Endi menceritakan tentang koleksi gasing miliknya yang jumlahnya sudah mencapai ratusan buah.
Bila berkunjung ke rumahnya, di Tangerang Selata, kita akan menemukan gasing-gasing koleksinya disejajarkan secara rapi teratur, lengkap dengan penjelasan tentang asal muasalnya, materi, dan cara memainkannya. “Yang terberat 5 Kg. Ada gasing 400 Kg tapi di museum anak di Taman Mini, “ katanya
Berkat gasing, pria kelahiran Blora, 26 Agustus 1963 ini diundang ke Festival of ASEAN Cultural Expressions, Brunei (2014), Jambore Pramuka Dunia, Jepang (2015), Pameraan Gasing di Indonesia Weekend, London (2016), dan Olimpiade Olahraga Tradisional Dunia, Tafisa World, Jakarta (2016). Dia juga mengelilingi semua provinsi Nusantara. Juga berjumpa dengan Presiden Joko Widodo.
Alumni Universitas Satya Wacana, jurusan Psikologi Pendidikan, Salatiga ini terobsesi untuk mendirikan museum gasing.
Dia sudah menyiapkan tanahnya seluas 4.000 m persegi di kampung halamannya, di Salatiga. Endi merasa, eksistensi gasing bisa terancam bila tidak dilestaikan.
TERAKHIR, kami – saya dan Endi Aras – jumpa dan bersenda gurau dalam acara reuni wartawan peliput TVRI yaitu pada 4 Agustus 2019 lalu. Acara mengumpulkan kembali para jurnalis era 1980-’90an, itu dihadiri Dirut TVRI di era 1990-an Ishadi SK dan direktur yang masih menjabat Helmy Yahya. Gitaris God Bless Ian Antono dan komedian Dedi Gumelar ikut meramaikan acara.
Namun tak lama sesudah itu beredar kabar kesehatannya drop. Sakit jantung yang lama diidapnya kambuh. Sejak itu dia keluar masuk rumah sakit. Bahkan coma dua hari terakhir – setelah menjalani operasi di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Sampai tadi pagi saya mendengar kabar kepergiannya. Dipanggil Sang Pemberi Hidup
Selamat Jalan, Mas Endi Aras Agus Riyono. Panjenengan sudah tidak sakit lagi. Mugi Gusti Allah paring swarga. Amin. ***