Mengenang Revolusi Iran, Menyimak Revolusi Taliban

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SAYA masih duduk di bangkut SMA, tapi sudah tiga tahun tinggal di ibukota – ketika meletus revolusi Iran di penghujung dekade ’70-an, yakni 1978-1980. Shah Iran, Reza Pahlevi dan Ratu Farah Diba terusir dari negeri Persia, 16 Januari 1979. Sebanyak 52 diplomat AS disandera di kantor kedubes di Kota Teheran, selama 444 hari. Gelombang Anti Amerika marak di seantero negeri Parsi. Ayatullah Rahullah Khomaeni kembali dari di Paris, Prancis, 30 Februari 1979, mengakhiri pengasingannya selama 14 tahun.

Negeri Iran yang semula berbentuk Monarki Sekuler dan Pro Barat, berganti menjadi Republik Islam Iran, menjadi negeri Mullah, dengan penerapan hukum agama Islam secara ketat. Pemerintahan monarki Shah Reza Pahlevi lebih cepat runtuh karena korupsi merajalela, aksi kekejaman dinas rahasia Savac, dan pemaksaan budaya barat di negeri seribu mullah yang masih banyak dihuni kaum tradisional dan buta huruf itu.

Saya menyaksikan, revolusi Iran di penghujung 1970 dan awal 1980, berdampak ke Indonesia – dan negeri Islam lainnya di seantero dunia – khususnya Asia Tenggara yaitu menguatnya puritanisasi. Meningkatnya fanatisme Islam. Menguatnya gerakan Islam politik. Menghadirkan “Islam baru” – bernuansa Timur Tengah. Jilbab dan busana ala Iran (hitam hitam) segera melanda seantero Tanah Air. Muncul kesadaran Islam yang diorganisir dan dijadikan alat politik, yang ternyata, mampu merebut kekuasaan negara.

Hal menarik adalah Revolusi Iran yang menginspirasi revolusi Islam secara global, perlahan lahan ditolak di sini, karena negeri Parsi ini mayoritas Islam Syiah. Sedangkan di sini aliran Islam Sunni atau Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Tapi puritanisme Islam tetap meningkat dengan memindahkan kutub dari Teheran ke Riyadh, Saudi Arabia, Kairo – Mesir dan Tripoli -Libya.

Bersamaan dengan itu, Kerajaan Arab Saudi melalui memanfaatkan momentum lewat LIPIA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab – menebarkan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia ke Arab Saudi dan setelah mereka kembali menyebarkan Wahabismenya di sini.

Wahabisme adalah ideologi keagamaan resmi Arab Saudi. Gerakan puritan, fanatik, anti-modern, berorientasi ke masa lalu, literal dan skriptural, dengan indoktrinasi dan intoleransi sebagai cirinya yang menonjol. Paham ini mewakili sekte Islam paling puritan dari ekspansi gerakan dakwah Salafi kontemporer di seluruh dunia.

Pada abad 20 dan diuntungkan berkat melambungnya harga minyak dunia, Arab Saudi mendukung penyebaran Wahabisme di seluruh dunia Islam.

Pada 1990-an, mahasiswa mahasiswa yang beroleh beasiswa dari Arab balik ke Indonesia, langsung meng-Arab-kan Islam Indonesia. Perda perda Syariah dikobarkan di seantero negeri. Kaum perempuan didiskriminasi, dibatasi gerakannya. Dijilbabi. Ditutupi sekujur tubuhnya. Kebaya mulai ditolak. Sistem pemerintahan demokrasi dan ideologi Pancasila mulai digugat.

Wacana penerapan kembali Syariat Islam yang terkubur selama Orde Baru dan Orde Lama berkuasa dihidupkan lagi.

Negara dan pemerintah cenderung toleran dan mendiamkan karena dianggap sebagai bagian dari demokrasi.

Revolusi Islam di Iran yang semula menjadi inspirasi politik aktifis Islam di sini, berubah menjadi musuh. Karena Islam Iran beraliran Syiah, sedangkan sponsor Islam Salafi-Wahabi dari Arab Saudi merupakan lawan dan berseberangan. Tak heran di sini malah meningkat gerakan anti Syiah.

Perang pengaruh ideologi di antara Sunni dan Syiah – antara Saudi Arabia dan Iran sebagai bekingnya, ngembet dan berdampak ke sini.

Melalui sarjana sarjana lulusan Timur Tengah, kaum jenggoter dan sorbaner, yang telah berhutang budi dan hutang pendidikan kepada kerajaan Saudi Arabia, Mesir dan Timur Tengah umumnya, Islam ala Arab didakwahkan lagi di Indonesia atas nama “memurnikan” (purifikasi) kembali ajaran Nabi Muhammad SAW. Menjauhkan Islam Nusantara yang sudah membumi ratusan tahun. Ajaran Islam Nusantara bahkan dianggap syirik menurut versi mereka.

Pada dasarnya paham Islam Salafi-Wahabi dan sejenisnya – dengan kampanye yang didukung petro dollar yang melimpah – dan kini menjelma menjadi pasukan Kadrun – bersikap anti kepada apa saja: AntiSyiah, AntiAhmadiyah, Anti budaya lokal, Anti Islam Nusantara, AntiKristen, Anti Hindu, Anti Budha, AntiChina dan lainnya. Hanya Islam Sunni Arab Wahabi saja yang benar.

MAKA apa yang akan terjadi dengan revolusi Taliban di Afganistan hari hari ini?

Sudah jelas ada euforia “kemenangan Islam”, “kemenangan Taliban” dan meningkatkan moral kaum fundamentalis di sini, kaum yang sehaluan dengan ideologi mereka.

Mereka mendapat pembenaran atas Islam politik dan aksi kekerasan ala Taliban, selama ini – demo demo anarkis – dan akan terus menjadi penentu halal haram, surga dan neraka bagi semua umat. Enteng mengkafir kafirkan yang beda pendapat. Anti ziarah kubur, anti tahlilan, anti KB, anti pertunjukan seni, anti musik, anti film dan pergelaran wayang – sebagaimana aksi Taliban di Afganistan. Merindu rindu zaman nabi, hukum cambuk dan rajam. Anti lembaga perbankan.

Tapi mereka tidak anti fullus, bahkan ngarep bantuan dan fasilitas pemerintah dan juga giat poligami. Beranak pinak.

Pihak intelejen kita konon sudah mendeteksi dan mengawasi mereka. Mudah mudahan bukan basa basi dan lengah.

Belajar dari Iran, ketidakpuasan masyarakat kepada Pemerintah, yang berakibat pindahnya dukungan rakyat kepada kaum puritan intoleran – bisa terjadi – jika Pemerintah kita lamban menegakkan hukum dan mengatasi berbagai macam penyimpangan dan ketidak adilan. Politik transaksional.

Penanganan kasus kasus korupsi, misalnya, kini cenderung jadi “bisnis”. Para koruptor diajak nego, diperas, dijadikan ATM. Yang diadili divonis ringan, uang negara yang dicuri tidak kembali. Yang terang terangan kelebihan bayar dan banyak menghabiskan uang negara dibiarkan. Menteri yang nilep uang bantuan sosial, tanpa rasa malu minta bebas. Karena yakin dia tak korupsi sendirian.

KPK yang biasanya langsung menangkap dan gerak cepat, kini cuma “omdo”, menebar ancaman. Gertak sambal. Janji jani akan meminta keterangan tak kunjung jadi kenyataan. Seperti sedang membuka diri untuk lobi dan tawar menawar.

Ayo, Wani Piro ? ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.