Menggugah Animo Menulis

Seide.idArswendo Atmowiloto, almarhum, menulis buku “Mengarang itu Gampang”. Namun kalau nyatanya tidak demikian, bukan salah bukunya. Harus diakui kalau menulis itu sejatinya tidaklah gampang seperti dibayangkan. Apalagi menulis fiksi, apalagi menulis puisi.

Tapi kalau “Aksi Swadaya Menulis dari Rumah” yang digagas oleh sahabat penyair Kurniawan Junaedhie bersama Bu Guru Julia Utami, yang hingga kini sudah berhasil menerbitkan puluhan buku, menghimpun lebih 800 penulis, termasuk penyair, bukti bahwa semangat menulis di masyarakat kita, besar animonya.

Kedua sahabat saya kira jeli melihat celah ini. Bahwa setiap orang, sebetulnyalah punya keinginan untuk menulis. Peluang dibuat ada, dan kesempatan untuk menulis dibukakan jalan oleh Aksi Swadaya Menulis dari Rumah. Gagasan yang buat kita perlu diacungi jempol.

Bukan saja membukakan jalan kepada banyak teman untuk mulai menulis. Ini gambaran besar bahwa semangat menulis di masyarakat kita ternyata tidak kecil. Pemerintah perlu melihatnya sebagai aset, walau kita belum bicara soal konten, dan soal lain ihwal kepenulisan, namun satu hal pasti, semangat menulis setiap anak bangsa perlu digugah.

Saya juga membaca seruan Menteri BUMN, Erick Tohir , agar jajaran staf direksi BUMN digugah untuk menulis, dan membaca puisi. Bekerja sama dengan Balai Pustaka, kegiatan itu digaungkan.

Ini gerakan yang juga menggugah semangat di kalangan birokrat, bahwa sastra, puisi, dan baca puisi, bukan cuma sebatas seremonial, sebagaimana ketika ada masanya dulu pejabat latah baku baca puisi setiap ada kesempatan di atas panggung. Eloknya lebih dari itu. Sastra memanusiawikan, puisi melembutkan.

Kegiatan menulis apapun, melatih otak bersistematis mengolah pikiran. Bersistematika dalam berpikir. Untuk karya fiksi, kerja mengolah rasa, menerjemahkan imaginasi. Tidak ada yang merugikan dalam kerja ini, malah perlu.

Menulis melatih mengutarakan, mengungkapkan, menjabarkan, isi pikiran secara runut, secara teratur, dengan keterampilan berbahasa. Di situ alasan kenapa untuk menjadi penulis perlu latihan. Perlu tidak berhenti exercises.

Hanya apabila isi kepala memadai, konten tulisan apapun terasa bernas pada pembacanya. Tulisan mencerminkan isi kepala. Dan itu diperoleh dari membaca dan membaca. Bahwa soal konten tulisan yang bernas memerlukan hal lain. Hal keterampilan untuk menuangkannya ke dalam bahasa yang pas, yang bulat utuh, dan tepat kosakata dan tata bahasanya. Ini keprigelan tersendiri.

Konten tulisan bernas, terampil mengungkapkannya, namun badan kurang sehat, juga bermasalah. Itu yang saya sering utarakan, bahwa penulis apapun, terlebih fiksi, perlu memiliki sosok kesehatan yang paripurna. Sehat badan, jiwa, sosial maupun spiritualitas. Oleh karena apabila satu saja timpang, tulisan akan terseok. Itu alasan saya mengajak setiap teman, siapapun, agar merawat badannya, terlebih seniman, sastrawan, penyair, yang umumnya cenderung kurang hirau pada kesehatan diri pribadinya.

Pada acara Peluncuran Buku Puisi Malioboro 19-20 Desember yang lalu, saya diajak Mas Bambang Widiatmoko, selaku penyelenggara acara, untuk ngobrol hidup sehat bagi sejumlah teman penyair yang hadir. Saya ingin memaksimalkan urun rembuk saya supaya teman-teman menaruh hirau pada aspek kesehatan pribadi, demi melahirkan karya yang bulat utuh kreatif, karena sekadar sakit gigi saja pun sudah merongrong kita dalam kerja kreatif menulis, apalagi dalam menyair.

Salam hidup sehat penyair,
Dr Handrawan Nadesul

Untuk Sukses Anak Perlu Kesenian, Dongeng, Puisi, Dan Musik Juga