Menghadapi Pergerakan Radikal di Indonesia

Menghadapi Pergerakan Radikal di Indonesia

Radikalisme telah menjadi bagian kehidupan manusia Indonesia yang diam, namun terus bergerak, merangkul orang-orang mudah dibodoh-bodohi atas nama agama dan tata negara yang Islami. Pembiaran yang dilakukan pemerintah, membuat gerakan mereka makin leluasa.( Foto Republika)

Di facebook tersebar komentar seorang dosen sekaligus profesor di Yogyakarta, ketika ditanya, diapain enaknya Ade Armando itu. Sang dosen dengan enteng menyebut ” disembeleh saja”. Bukan pertamakali ini sang dosen menyebarkan komentator radikal yang cukup menggetarkan nurani. Ia bahkan terang-terangan tidak menyukai pemerintah. Begitu juga sang isteri yang setiap saat menumbuhkan nada-nada melawan pemerintahan Presiden Jokowi.

Gejala seperti ini sudah sering terjadi dan lagi-lagi, terjadi pembiaran yang kelak mudah membesar dan tumbuh subur. Yang tak disadari pemerintah adalah, orang-orang yang mengaku beragama atau berafiliasi pada Islam ini justru merusak nama Islam itu sendiri. Tapi mungkin karena Islam itu, pemerintah menganggak enteng, sehingga, sadar atau tidak, semua aparatur negara dari bagian administrasi negara di kelurahan, pengadilan hingga mereka yang setiap hari bekerja untuk negara, justru merongrong kewibaan pemerintah.

Lemahnya Deradikalisasi

Ilustrasi infografi ( Jatimnet)

Tak hanya di jalanan, melalui demo berjilid-jilid dalam berbagai isu, tapi juga telah menyusuo di lingkungan pemerintahan, di perguruan tinggi, dan di pengajian-pengajian. Jajaran pemerintahan bisa saja berkilah dengan bebagai alasan, namun rakyat merasakan betul apa yang terjadi di sekitar mereka. Bahwa sebuah pergerakan radikal dalam jumlah massive telah mulai bergerak makin kuat. Salah satunya adalah membaiat orang-orang pedesaan dan mereka yang memiliki jiwa Islam dengan mudah dibaiat untuk antri pemerintahan yang mereka nggap sebagai kafir dan memperkuat keyakinan akan pemerintahan Negara Khalifah. 

Ketika pemerintah Jokowi membubarka HTI dan FPI, tapi tidak memberi tempat melakukan deradikalisasi atau penyembuhan pikiran jahat. Para partisan HTI dan FPI mencari celah bagaimana tetap melawan pemerintah setiap ada kesempatan. Dan peluang itu ada ketika ditangkap oleh para pemilik modal atau pebisnis politik yang haus kekuasaan dan uang, menggerakkan orang-orang liar ini untuk kepentingan mereka. 

Alhasil, kejadian apapun bisa dijadikan alasan untuk melakukan demo, keributan atau kebebasan melakukan tindakan anarki maupun aktivitas lain untuk mengganggu pemerintah. Melalui medsos yang sangat terbuka, para kelompok radikal mendengungkan perlawanan dan ucapan-ucapan yang memprovokasi dan mengisi pikiran-pikiran mereka yang berisi pemberontakan untuk membuat kerusuhan. Pesannya jelas: menentang pemerintah dan menurunkan siapapun yang berkausa saat ini, hingga tercapai tujuan mereka. 

Sembunyia di Balik HAM

Radikalisme tidak akan mati, sepanjang pemerintah berdalih HAM atau apapun. Radikalisme akan berkembang atas nama agama mayoritas. Telah lama masyarakat menahan gejolak emosi ini, namun stigma penistaan agama yang dijadikan senjata mereka, untuk diam. 

Tidak adanya konsep deradikalisasi dalam penanganan para kelompok radikal, semakin menumbuhkan mereka untuk bergerilya di ranah underground, atau bahkan di tempat yang tak semua orang bisa masuk; pesantren dan mesjid. 

DI China, letusan kecil tindakan radikalisme, sudah dapat menjebloskan orang ke dalam bui. China tak membiarkan siapapun melampaui lampu hijau yang dinyalakan pemerintah. Baik radikalisme, ekstremis, teroris atau mereka yag bertindak di luar batas konsep pemerintahan China yang komunis sekaligus kapitalis. 

Setidap tindakan radikalisme, tidak dipenjara atau dibiarkan, tapi dimanfaatkan. 

Tidak Dipenjara Melainkan Dipekerjakan

Menghadapi Pergerakan Radikal di IndonesiaSudah ada konsep, namun belum maksimal ( Infografi Indonesiabaik.id)

Di Xinjiang, China, pemerintah menempatkan para tokoh dan pemikir radikal , ekstremis dan teroris ke tempat ini. Mereka tidak dimasukkan ke penjara, tapi justru dipekerjakan.  Para radikal, ekstremis maupun teroris disuruh bekerja dan diberi upah di dalam kamp yang banyak pabriknya. Mereka dijauhkan dari berita dan informasi. Pelan-pelan, mereka akan sibuk bekerja dan melupakan konsep atau pemikiran radikalisme dalam diri mereka. 

Setelah mereka pulang ke rumah, radikalisme menyusut. Mereka sibuk mencari uang untuk kehidupan keluarga mereka sendiri yang lebih baik. Apalagi ketika para bohir tak cepat memeberi mereka kecukupan ekonomi. Banyak lonewolf atau teroris mandiri, ekstremis dan radikalis perseorangan yang bergerak di bawah tanah, kesepian. Tak mudah lagi merekrut orang untuk berbuat onar. Semua sibuk bekerja karena mereka memperoleh bayaran yang cukup menghidupi keluarga mereka daripada sebungkus nasi dengan menentang pemerintah. 

Mengenai hal ini, di Jakarta pernah diselenggarakan seminar bertajuk ”Xinjiang, Tiongkok dari Berbagai Aspek”, pada 18 Juni 2019.. Acara digelar di Kedutaan Besar China itu dihadiri sejumlah pembicara dari Xinjiang. Hadir pula perwakilan beberapa organisasi Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Persahabatan Ormas Islam.

Sayangnya, acara bagus tersebut tidak ditangkap dengan cerdik. Tak banyak aparat pemerintah aktif, dan jauh dari jangkauan media. 

Mencari Bohir demi Sebungkus Nasi dan Ideologi

HTI dan FPI dibubarkan, tapi membiarkan mereka mencari majikan untuk bisa dipekerjakan untuk berbuat apa saja. Untuk demo, bikin kerusuhan atau ketakutan di masyarakat. Kalau perlu pengeroyokan secara pengecut seperti yang dilakukan terhadap Ade Armandi kemarin. 

Pengibaran bendera perjuangan Islam hanya dihalau, membaca Kitab Suci ramai-ramai di pusat kota tidak dianggap mengganggu, komentar sadis seperti dosen UGM itu dianggap biasa, maka semua bentuk radikalisme yang dianggap biasa, kelak membesar dan meletus. 

Radikalisme telah menjamur sedemikian rupa, tinggal menunggu kerusuhan apa lagi yang akan mereka pertontonkan. Masyarakat hanya bisa menunggu.

Pemerintahan Presiden Jokowi bisa membuat jalan generasi berikutnya lebih mudah dan mulus, andai sisa dua tahun ini, juga bisa membasmi perorangan atau kelompok radikal. Pemerintah mestinya tidak membiarkan mereka menjadi besar, lalu dimanfaatkan para politisi atau pemilik uang yang haus berkuasa untuk berbuat apa saja nanti saat Pemiihan Presiden dua tahun lagi.

Pemerintah sudah cukup mampu menumpas para teroris dan seharusnya juga bisa dilakukan dengan kelompok radikal dan ektremis yang semakin merajalela di negeri ini…… 

BACAAN LAIN

Memahami Bank dan Dunia Kripto Sebelum Masuk Uang Digital

Bedanya Orang Kaya dan Orang Tidak Kaya

PESAN POLITIK 2024

Avatar photo

About Mas Soegeng

Wartawan, Penulis, Petani, Kurator Bisnis. Karya : Cinta Putih, Si Doel Anak Sekolahan, Kereta Api Melayani Pelanggan, Piala Mitra. Seorang Crypto Enthusiast yang banyak menulis, mengamati cryptocurrency, NFT dan Metaverse, selain seorang Trader.