Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SUDAH lama saya tak merasai udara gunung. Puji syukur saya masih sempat menikmatinya pekan lalu. Bersama sama para sekondan, yaitu Matt Bento Herman Wijaya serta Teguh Imam Suryadi, yang sedang meliput kegiatan olahraga para wartawan di Solo – kami dibawa ke Watulumbung Culture Resort, di Bukit Parangtristis, Bantul – Jogya.
Pemilik dan tuan rumah yang menyambut adalah Mbah Boy – yang dulu kala dikenal sebagai Boy Rivai. Dulu Boy adalah produser film dan penyelenggara berbagai acara. Dia akrab dengan semua seniman dan budayawan besar ibukota, dari WS Rendra, Asrul Sani, Taufik Ismail, semua dekat dengannya. Juga di antara aktor aktris film yang kemilau dan semlohei.
Di antara saya, Matt Bento dan ‘Mas Boy’ yang kini jadi ‘Mbah Boy – kami berkarib sejak 1990-an. Dulunya dia produser dan pemilik saham majalah ‘Film‘. Sedangkan saya pernah menjadi redaktur dan pemrednya. Matt Bento pernah menjadi wartawan, kontributor dan penulis tetapnya. Sedangkan Imam Suryadi lama di grup “Pos Kota” ; kami semua ada di bawah perintah dan kontrol Pak Harmoko dan Pak H. Thahar.
“Saya jual saham majalah Film ke Bu Giarti dan dapatRp. 400 juta, ” kata Mbah Boy dengan terkekeh mengenangkan masa jaya di majalah Film. Kini dia jadi juragan resort, di sebuah bukit yang menghadap empat gunung: Merapi, Merbabi, Sindoro dan Sumbing, serta pantai Parang Tritis. Indah sekali.
Ada 15 hektar tanah dikuasainya. Dia membelinya secara berkala, saat berjaya di film. Boy Rivai pernah memprodususeri 30-an judul film nasional era 1990-an hingga 2000-an, sebelum kemudian hijrah ke gunung dan jadi orang gunung, mengagas tempat edukasi alam.
Sudah lama Mbah Boy ingin saya datang kembali. Melalui FB, messenger dan WA, dia menggoda saya dengan foto foto pemandangan dan kegiatan di Watulumbung. Saya pun ingin ke sana, tapi belum mendapat kesempatan pas. Lagipula ada pandemi Covid-19.
Dulu saya pernah ke sana bareng Taufik Remington, penerbit buku pelajaran sekolah di Solo. Saat itu Watulumbung masih gelap gulita. Konsep yang ditawarkannya benar benar alami.
Serangan Asma langsung datang dan saya sesak nafas di sana, karena kaget, datang dari Jakarta langsung nginap di gunung yang malamnya mengandalkan cahaya pelita. Udara dingin dan basah sangat menyengat.
Kini Watulumbung Culture Resort sudah dialiri listrik. Ada 20 karyawan yang siap menyambut dan melayani tamunya, dengan layanan ala gunung tapi parpurna. Pemandangan indah, udara sehat dan damai.
Watulumbung mampu menampung 60 hingga 200 tamu. Selain pondok ada kemah disiapkan bagi mereka yang suka berkemah.
Kata Mbah Boy, Watulumbung dikonsep untuk turis bule pecinta alam. Dia pasang tarif Rp. 2,5 juta untuk menginap untuk turis asing.
Sebelum pandemi Covid 19 datang, dia merasai guyuran dollar, karena pengunjung bule tak henti henti.
Belakangan turis dilarang datang dan kotak tempat menanggok dollar kosong glondangan. Tak ada dollar datang.
Setelah badai pandami Covid 19 mereda, Watulumbung Resort dibuka lagi pelan pelan, bukan hanya untuk turis asing melainkan untuk tamu lokal. Tarif menginap disesuaikan. Bahkan untuk anak sekolah sangat murah. Intinya, dia ingin anak anak muda mengenal alam seutuhnya, mencintainya, menjaganya.
Kedatangan kami di tengah malam, disambut dengan pembacaan sajak oleh penyair Jogya Teguh Mahesa dan dalang Mega. Dalam cahaya terang bulan. Selanjutnya menyeruput minuman hangat dan mencicipi hidangan khas watulumbung, minuman hangat dan tempe kacang koro.
Untuknya, kami bawakan mie godog dari warung mie Mbak Dewi Eliza di Solo.
Kami melewati malam dengan tidur di kasur yang empuk, cahaya listrik temaram di kamar dan tak ada nyamuk. Tidur pulas.
PAGI HARI sebelum matahari terbit, bangun, karena memang diniati bangun untuk melihat matahari terbit (‘sunrise’). Lagi lagi Teguh Mahesa menyambut krmunculan mentari dengan pembacaan sajak.
Sembari menyusuri bukit, jelang sarapan, Mbah Boy dengan semangat bicara tentang masa depan Watulumbung Culture Resortnya, tentang pondok pondok yang di bangun di lereng bukit. Juga ‘amphi teater’ yang sedang disiapkan, serta berbagai kegiatan budaya di sana.
Tak ada gambar yang disiapkan, dia turun di tengah pekerja sebagai arsitek dan mandornya. Juga juragannya. “Semua konsep ada di kepala ini, ” katanya, dengan terkekeh.
Dia banyak bicara yang sayangnya tak terekam di kepala, karena mata dan pikiran saya terbenam dalam suasana alam indah yang ditinggalinya. Sangat indah. Membawa damai.
Pantas aja Mbah Boy betah tinggal di sini. ***