“Harap maklum”, “maklum masih anak-anak”, “maklum saja orangtua itu mulai pikun”, atau “harap menjadi maklum adanya…” Sederet kata maklum lainnya itu biasa terucap dari mulut orangtua.
Kata sederhana, tapi memiliki makna yang dalam, dan sulit untuk diterapkan dalam hidup keseharian. Kita diajak belajar mengejawantahkan kata maklum untuk memahami dan menghormati orang lain.
Apa reaksi kita ketika tengah berjalan santai, kita ditabrak orang yang terburu-buru?
Umumnya kita cenderung reaktif, bisa jadi kita tidak mampu menahan diri, atau spontan marah untuk mengajak berkelahi.
Tapi, dengan kata maklum, kita diajak menahan diri. Mengontrol hati. Agar tidak emosi.
Bertanya untuk memahami orang lain itu lebih bijak, ketimbang kita mengadili.
Bisa jadi orang itu terburu-buru, karena ada kepentingan–hendak menengok orang yang sakit, membeli obat, atau ada keperluan lainnya.
Marah itu tidak menyelesaikan masalah. Memaklumi, memaafkan, dan tersenyum seharusnya menjadi obat mujarab yang mampu meredakan emosi. Kita tidak punya ganjalan. Dan, hati ini menjadi plong.
Kenyataannya tidak semua orang yang dimaafkan, dimaklumi itu tahu diri, lalu menyadari bahwa ia berbuat salah.
Coba lihat para tersangka itu, ketika disorot TV, muncul di depan publik dengan tawa lebar dan pongah. Tidak punya rasa malu, bahkan tidak merasa bersalah.
Sebaliknya, ada dari mereka yang merasa dijebak atau dizolimi. Dan, masih banyak lagi.
Memaafkan orang lain itu, apapun kesalahannya, hukumnya wajib. Kita diajak berdamai dengan diri sendiri dengan bersikap murah hati agar semakin merasakan kasih Allah.
Ketika kita mampu memahami, menghormati, dan nguwongke manusia, apapun statusnya, kita memperoleh kehormatan diri. Hidup bermartabat, semakin terhormat.