Hasilnya? Semua pemeriksaan pre-op dinyatakan oke. Artinya kesehatan saya secara keseluruhan memungkinkan untuk menjalani operasi. Tentu saja saya sempat merasa dag-dig-dug mengingat seumur hidup baru kali ini akan berbaring di meja operasi. Di negri orang pula, jauh dari sanak kerabat.
Bahkan di tengah kondisi pandemi yang jelas-jelas standar pelayanan kesehatan semua RS pastilah sangat ketat.
Asliiiii, saya sempat takut mati. Yang terbayang, kalua ada apa-apa, saya tak bakal bertemu lagi dengan 3 anak saya lainnya yang tinggal di Bandung, Tangerang dan dan Denpasar. Tak bakal jumpa lagi dengan ibu saya yang berangkat sepuh maupun kakak dan 2 adik saya bersama keluarga mereka masing-masing.
Berhari-hari perasaan saya campur aduk. Sampai akhirnya bulat tekad untuk mengusir rasa takut mati dengan mengafirmasi diri. Caranya? Meyakini bahwa saya akan baik-baik saja di tangan para dokter ahli yang terbaik di negri ini.
Saya pun segera membuang jauh mimpi bakal didampingi atau setidaknya diantar kerabat saat operasi berlangsung. Begitu juga membayangkan nikmatnya budaya rawat inap di tanah air, terutama dijenguk para sahabat yang membawakan buah tangan.
Sebagai pasien, saya di sini dituntut harus betul-betul bisa mandiri. Nak mantu hanya boleh mengantar sampai di pintu masuk RS. Selebihnya, saya mesti mempercayakan sepenuhnya “nasib” ini pada kebesaran Tuhan yang akan berkarya lewat tangan para dokter dan tenaga paramedis.
Sejumah persiapan
Yang saya ingat, pagi itu, Senin 17 November tahun lalu, saya diminta datang ke RS di daerah Forest Hills untuk stand by jam 7 pagi. Setelah sebelumnya dipesan untuk wajib mandi bersih di rumah menggunakan sabun antiseptik khusus dari RS. Rumah Sakit ini hanya terpisah jarak 17 menit jika saya berjalan kaki dari rumah. Setelah scan kartu yang dibuatkan sehari sebelumnya, saya segera menuju ruang pre-operasi.
Suhu tubuh, tekanan darah, kadar gula darah dan lain-lain pun segera diukur dan dicatat. Semua dalam batas normal. Ada pula perawat yang mengajukan beberapa pertanyaan seputar riwayat alergi.
Tentu saja saya juga diminta mengenakan baju khusus untuk operasi dan menandatangani beberapa lembar kertas sebelum didorong masuk ruang operasi jam 09.50 (saya masih bisa melirik jam dinding di lorong menuju ruang operasi).
Begitu terbangun saya agak bingung, mencoba mengingat-ingat saya berada di mana. Rupanya operasi sudah selesai sekitar 1,5 jam yang lalu. Sedangkan operasi sendiri menurut penjelasan suster di ruang pemulihan persis di samping ruang operasi itu, berlangsung selama 45 menit.
Saya masih merem-melek dalam kondisi 1/2 sadar di bawah pengaruh obat bius saat berbaring di ruang pemulihan tersebut.
Setelah sepenuhnya sadar, saya pun segera didorong ke ruang persiapan operasi semula di lantai dasar. Diminta untuk belajar mobilisasi dengan berjalan sendiri ke toilet sambil tetap didampingi petugas.
Berganti baju rumah lalu menikmati beberapa keping biscuit dan 2 kotak kecil jus apel yang terasa amat segar mengalir di kerongkongan.