Meninggikan Buya Hamka, Merendahkan Bung Karno

Buya HAMKA - Bung Karno

KAUM ISLAMIS radikalis mengabaikan bahwa permusuhan Bung Karno dengan lawan politik dan tokoh menentangnya, tidak melibatkan pribadi. Dia menjalin hubungan persabahatan dengan mereka. Baik dengan Bung Hatta, Natsir, maupun HAMKA, Bung Karno  tetap menjaga persahabatan dan ukhuwah.

Khusus dengan HAMKA, dua tokoh bangsa ini sudah saling mengenal sebelum Kemerdekaan Indonesia. Hamka pernah mengunjungi Bung Karno di Bengkulu saat diasingkan ke daerah tersebut pada 1938-1942.

Bung Karno dan Hamka sama sama aktifis Muhammadiyah.  Bung Karno acap kali mengundang sahabatnya itu untuk berceramah di Istana Negara dalam rangka memperingati hari besar keagamaan. Bung Karno sendiri yang mengajak Hamka untuk Hijrah dari Medan ke Ibukota Jakarta pada 1946. Ajakan itu sempat tertunda karena adanyanya Agresi Pertama pada 1947. Namun kemudian Hamka benar-benar datang ke Jakarta pada 1949 setelah Bung Karno mengujungi di Buktitinggi, Sumatra Barat.

Namun seiring memanasnya kondisi politik kala itu, hubungan kedua tokoh nasional ini sempat merenggang. Hal itu tidak lepas dari pengaruh PKI yang mulai memperalat secara politik posisi Bung Karno, dan Hamka saat itu aktif di Masyumi, partai yang paling dibenci oleh PKI.

Puncaknya saat Buya Hamka ditangkap dan dipenjara atas tuduhan dugaan keterlibatan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno dan Menteri Agama saat itu.

Kafrawi, Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970. Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami salat jenazah Sukarno.

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Mendengar pesan itu,  tanpa pikir panjang Hamka kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan.

Sebagai peminat cerita sejarah, saya punya narisa kebalikannya dari yang menjadi judul tulisan risalah di atas ini. Tapi saya orang Jawa, yang teguh memegang falsafah leluhur: “Mikul Duwur Mendem Jero” – Meninggikan martabat dan memendam aib.

Lagipula dua duanya sudah tiada dan tidak bisa membela diri.  ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.