Oleh HANDRAWAN NADESUL
(Serial Bangga Aku Menjadi Bangsa Indonesia)
Harus pendidikan yang pedagogik, pendidikan bukan cuma alih ilmu semata, yang akan membangun bangsa berkualitas. Termasuk bila ingin membangun bangsa yang ugahari. Ugahari lebih dari hanya sikap bersahaja. Tercakup di dalamnya kesantunan, terkendali sikap-pikir-rasanya, rendah hati, lembut hati, sabar, taat, dan bersusila. Sosok yang mendekati idealisasi insan kamil, manusia yang sempurna, yang universal diterima semua orang, segala bangsa, segala hati. Hanya apabila pendidikan menanamkan nilai, menginternalisasi nilai, bakal tercipta anak bangsa yang seberkualitas itu.
Mencipakan anak bangsa ibarat menuliskan selembar kertas putih dengan bahasa hati dan gambar nurani yang serba bagus, baik, dan benar, sejak lahir mula, sebagai proses tabula rasa (John Locke). Dengan proses kertas kosong itu anak akan diciptakan sebagaimana apa yang ditulis dan digambar oleh tangan pendidikan, selain tangan orangtua yang membesarkannya.
Pendidikan yang pedagogis, pendidikan yang mengisi soft skill anak, yang menjadikannya kelak insan bermartabat. Hanya apabila dengan baik dan benar anak bangsa dididik, tercipta bangsa yang bermartabat menuju bangsa yang ugahari.
Yang kita hadapi kini bangsa yang belum sebaik itu, melainkan bangsa yang terlanjur keliru dibangun. Maka sudah sejak beberapa dasawarsa muncul pandangan perlunya masyarakat yang madani, masyarakat pembelajar, melakukan koreksi terhadap sejumlah perkeliruan sebagai individu untuk menuju sosok insan. Idealnya menjadi insan kamil. Pak Jokowi mengusungnya dengan gerakan Revolusi Mental.
Bagaimana bisa menuju bangsa berkualitas bermartabat apalagi ugahari kalau pendidikannya masih berkutat mengabaikan pendidikan tata nilai. Bagaimana anak bangsa yang terlanjur salah didik dengan mudah bisa diubah. Pendidikan yang terlanjur menciptakan manusia yang keliru, yang bermasalah, yang toxic person, yang menjadi terlanjur sampah masyarakat, justru karena kesalahan orangtua, kesalahan orang-orang yang lebih tua, termasuk kesalahan pimpinan negaranya, kesalahan hakim dan jaksa, kesalahan polisi, kesalahan sekolah, kesalahan di rumah juga. Kesalahan peran ibu.
Sepuluh tahun lampau saya menyusun materi semiloka (seminar-loka karya) untuk modul “Sekolah Menjadi Ibu”, berkeleliling roadshow lebih sepuluh kota memberikan pengayaan kepada banyak ibu muda bagaimana melakukan peran sehatnya. Mengapa saya terinpirasi memilih modul menambah wawasan bagi ibu?
Saya membaca dari pengalaman saya mengasuh rubrik kesehatan di koran tabloid majalah lebih lima dasawarsa lalu, belakangan saya menyimpulkan dari Webs Aku dan Kau yang saya asuh, terkesan ibu-ibu muda dari strata sarjana saja pun wawasan kesehatan bagaimana membesarkan anak yang benar belum sepenuhnya dikuasai. Apalagi ibu kita yang begitu banyak tidak mengenal bangku sekolah. Padahal peran ibu sungguh strategis untuk membangun bangsa.
Kita niscaya, kalau di balik sukses suami ada istri yang hebat, di balik sukses anak ada ibu yang hebat. Kalau ibu lemah melakukan peran, bisa dibayangkan akan seperti apa lahir generasi bangsa.
Sudah lama kita melihat anak salah didik, salah gizi, salah perkembangan jiwanya. Ditambah kalau sekolah juga belum mendidik, hanya mengajar. Yang kita saksikan sekarang anak yang nakal, delliquency, anak yang kejam, anak yang sadistis, yang tanpa moral, asosial, dan antisosial. Kerancuan bila anak terlalu dini masuk sekolah, dibebani tugas sekolah, dan kehilangan masa bermainnya. Belum dihitung efek buruk kelak anak yang kehilangan masa bermainnya, karena harus bikin PR, banyak tugas sekolah, untuk memuaskan hati orangtua, dan kepentingan sekolah pingin dilabel sekolah unggulan. Ini termasuk cara salah membesarkan anak.
Kalau kita menghadapi generasi bangsa yang seperti itu, kesalahan yang bukan maunya si anak, melainkan sebab salah pendidikannya. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan menjadi anak yang keras, dibesarkan dengan celaan, menjadi rendah diri, dengan cacian, dengan tanpa kasih sayang, dengan yang tidak pantas lainnya, menjadi anak yang bermasalah. Anak melakukan apa yang dilakukan orangtuanya, panutannya, bukan dari apa yang diucapkan, dinasihatkan.
Kalau anak melihat para pemimpinnya juga culas, menterinya serong, hakimnya kotor, jaksanya tidak jujur, polisinya bisa disogok, gurunya menampar, ayah-ibunya juga curang, tidak senonoh, jangan salahkan anak kalau kelak akan meneladani semua yang tidak benar itu. Kualitas seperti mereka yang akan mengisi generasi penerus.
Anak bertumbuh-kembang dari meja makan rumah. Kalau isi meja makan rumah tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak, secara fisik anak sudah tidak bertumbuh normal, termasuk tidak optimal kecerdasannya. Kalau sejak balita orangtua keliru memperlakukan anak lantaran ketidaktahuan, ignorancy, jiwa anak berkembang tidak normal. Menghukum semasa anak balita, trauma yang membawanya salah berkembang. Termasuk penyimpangan seksual, dan kenakalan, selain berlaku kriminal. Salah didik, salah asuh, salah membesarkan yang melahirkan generasi salah urus. Lalu pemerintah dan negara yang bertambah beban pikulannya. Sebagai warga bangsa, mereka bukan saja tidak produktif, terlebih harus ditanggung negara, ditanggung rakyat juga.
Bangsa ini perlu pemimpin yang ugahari menghadapi masyarakat yang sudah seharusnya diikrarkan menjadi masyarakat pembelajar, yang melakukan koreksi terhadap apa yang sudah keliru dilakukan. Masyarakat madani yang memiliki pemimpin yang mumpuni, serta ugahari.
Jujur saya melihat keugaharian pada sosok Presiden Joko Widodo. Sosok yang menjunjung tinggi kebenaran, menerima tanggung jawab, menunda kepuasan hidup, hidup seimbang dunia akhirat. Itulah acuan syarat menjadi seseorang yang sudah mendisiplinkan diri. Manusia yang sudah selesai, manusia yang memilih hidup “sak madyo”, yang sudah merasa cukup, manusia yang madep ngalor sugih, madep ngidul sugih (Meminjam ungkapan Umar Khayam). Kekayaan dirinya ada pada hati nuraninya. Pemimpin yang ditauladani bawahannya. Panglima yang suri tauladan.
Saya menyaksikan Presiden kita sekarang yang dipilih hampir seluruh rakyat, yang prestasinya nyata ada, dan membanggakan, masih dihujat, dicaci-maki tidak senonoh, tidak dihargai jerih payahnya, tidak dihormati, ternyata sosok Presiden yang tetap penyabar, rendah hati, lembut hati, dan masih santun. Bukankah ini terbilang sikap-pikir-laku yang ugahari.
Siapa yang bisa mengingkari, menyangkal, membantah kebenaran yang sudah dikerjakan Presiden kita secara senyap dan tidak gembar-gembor yang cuma ngomong doang?
Jadi kalau ada pihak-pihak yang masih saja mencemooh, mencela, menafikan apa yang sudah lurus, baik, dan benar dikerjakan, kita semua dengan nalar dan akal sehat bisa menilai yang keliru siapa. Bangsa dan negara luar saja menghargai prestasi Presdien Joko Widodo, apa yang tidak benarnya? Ada yang salah kalau masih ada pihak-pihak yang menyangkal, menyanggah, membantahnya.
Namun itulah drama. Itulah orang yang mencari panggung. Yang minta melegitimasi kesalahannya sebagai yang paling dan lebih benar. Yang punya kepentingan pribadi. Yang kehilangan rejeki tidak halalnya.
Ketika kebenaran ditegakkan oleh seseorang yang ugahari, mereka yang sikap-pikir-lakunya tidak benar lalu menjadi galau. Dan mereka ini yang mengatasnamakan rakyat tapi bukan berpikir untuk rakyat, melainkan buat diri sendiri dan kelompok. Tanpa harus disebut kita semua tahu siapa mereka, yang semakin nyata kelihatan dari tindak tanduk dan perilaku politiknya, drama orang, tokoh, mantan pemimpin, mantan menteri, mantan pengusaha, mantan semua yang tidak rela menjadi korban akibat ditegakkannya kebenaran hakiki, yakni kebenaran bagi semua orang, segala masa, dan milik hati nurani, namun itu yang menjadi kerikil bagi mereka yang kehilangan panggung.
Semoga Gusti Yang Maha Welas Asih memberikan keberkahan bagi semua yang sikap-pikir-lakunya ugahari. Bagi siapa saja anak bangsa, semua, bagi Presiden kita sekarang, karena hanya restu Yang Maha Welas Asih, yang diberikan jalan kebenaran.