Hari ini saya memutuskan sesuatu yang akan mengubah seseorang. Entah lebih baik atau sebaliknya.
Di tengah badai virus corona saat ini, kami semua telah divaksin untuk memberi pertahanan tubuh terhadap virus. Masalahnya, sekitar kami banyak yang menolak vaksin.
Pintu rumah kami tertutup untuk siapapun. Kalau berbicara, kita pakai masker di balik pintu kawat dan berjarak 2 meter. Kantor hanya diurus 20% dari yang biasanya. Kami harus melindungi seisi rumah, 2 anak, 2 menantu, 3 cucu dan isteri, dari sergapan penularan covid.
Paket ditaruh di kerangjang khusus. Handel pintu kami semprot setiap saat. Termasuk dalam rumah. Aroma terapi ecalyptus memenuhi seisi rumah. Ibarat perang, kami mempersenjatai diri dari serangan ancaman.
Tapi ada satu yang menjadi masalah.
Menolak Vaksin
Sopir kami, Bos Yudhi, tak mau divaksin. Begitu juga keluarganya. Anaknya satu dan isterinya sedang hamil 8 bulan. Vaksin, katanya, akan membuat dia impoten, dan isinya babi yang sengaja disuntikkan sgar mereka jadi kafir semua,
Percuma isteri saya memberi info yang benar, sebab di benaknya sudah tertanam konsep penolakan. Sudah masuk alam bawah sadar selama 2 tahun ini. Itu ajatan ulama di daerahnya.
Akhirnya, keputusan diambil. Bos Yudhi tak boleh masuk rumah, tak boleh mengantar keluarga. Kalau dia mau menyapu halaman luar atau kebun, silakan. Setelah selesai, boleh membantu siapapun di kantor yang mau diantar. Bos Yudhi tidak menolak, tidak mengiyakan. Persis mayat hidup yang tak bisa bicara.
Saya tahu bos Yudhi akan kehiangan makan siang fan malam gratis, meski dia menerima uang makan harian dan bonus lain setiap anak-anak minta tolong diantar.
Kami juga boleh memaksa orang yang menolak vaksin karena ajaran para ustadz kuper. Orang lain juga tak boleh memaksa masuk dalam lingkaran keluarga kami yang menginginkan hidup dengan penjagaan.
Pada akhirnya, hidup memang pilihan. Kami membiarkan Bos Yudhi, yang sudah kerja menjadi sopir di keluarga kami selama 8 tahun, memilih jalannya sendiri. Mikir sendiri. There is no help for it…..