Erizeli Jely Bandaro
“ Luka terkena pisau, cepat sembuh. Tetapi karena kata kata akan dibawa mati. Jaga bicara. Mulutmu harimaumu “ Itu nasehat klasik, yang setiap orang tua selalu menanamkan kata-kata itu kepada anaknya. Itu juga nasehat ibu saya kepada saya. Tapi kata juga adalah kalimat kebudayaan, yang bukan ruang kosong.
“ Bapak kamu mati ya ? Walau kita sampaikan dengan wajah prihatin dan empati, namun bagi orang yang sedang berduka, kata kata “ Mati” itu sangat menyakitkan. Padahal fakta memang ayahnya “mati.”.
Banyak sekali hal yang sangat logis namun walau disampaikan secara logis juga, itu belum tentu bisa diterima oleh orang lain.
“ Kamu kan sehat. Kan bisa kerja. Kenapa harus jadi pengemis.” Itu tidak salah. Itu benar secara logika. Tetapi bagi pengemis itu sangat menyakitkan. Atau berkata kepada PSK “ Apa engga ada pekerjaan lain daripada melacur. “ Itu juga tidak salah. Tetapi terdengar menyakitkan bagi pelacur.
Ada cerita sufi. Suatu hari Abu Yazid Al-Busthomi berjalan sendiri di malam hari. Lalu beliau melihat seekor anjing berjalan terus ke arahnya. Ketika anjing itu menghampiri beliau, Abu Yazid mengangkat jubahnya dan membentak anjing itu, khawatir tersentuh anjing yang katanya najis itu. Spontan anjing itu pun berhenti dan terus memandangnya. Anjing itu berkata padanya,
”Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu dan menghardikku karena menganggap dirimu lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera lautan”.
Bahkan mengingatkan kebaikan kita kepada orang lain yang tidak suka kepada kita, itu akan menjadi hal yang menyakitkan. “ Jangan pernah ungkit kebaikan dan pemberian kamu kepada orang lain. Sejahat apapun dia, akan lebih jahat kalau kamu keluarkan kata kata tentang kebaikan kamu kepada dia. Walau itu bertujuan mengingatkan dia. “ Nasehat Ibu saya.
“Mengapa ?”, tanya saya.
“ Itulah akhlak, Anakku. Apa yang terjadi antara kamu dan orang lain, itu bukanlah antara kamu dan dia. Tetapi antara kamu dan Tuhan. Kamu berbuat baik bukan karena manusia tetapi karena Tuhan. Kamupun bersikap bukan karena manusia tetapi karena Tuhan. Cukuplah Tuhan tempat bersandar. Dengan bagitu hatimu akan lapang dan hidupmu akan bahagia. Jangan ungkit kebaikan kamu kepada orang lain, ya sayang, ” kata ibu saya.
Pada usia muda, menerapkan nasehat itu tidak mudah. Makanya kalau terjadi benturan antara batin dan realitas, saya lebih memilih diam. Bahkan kalau terlalu keras benturan itu, saya terpaksa berteman dengan Johnnie Walker untuk melupakan.
Setelah itu batin saya bisa berdamai dengan realitas. Mungkin saya salah dengan cara mengalihkan galau ke Johnnie Walker. Namun berlalunya waktu sikap berdamai dengan realitas itu menjadi mindset saya. Bahagiapun jadi mudah walau tanpa Johnnie Walker.
ARTIKEL MENARIK LAIN: