JAKARTA, 13 MEI 1998. Hari itu, aparat keamanan kota tiba-tiba seperti lumpuh. Di berbagai pelosok kota muncul gerombolan misterius, yang memprovokasi orang untuk membakar dan menjarah, juga memperkosa. Bara api dan asap mengepul di sana-sini. Kota penuh gemuruh, tapi sekaligus sunyi. Ada aparat keamanan di sana sini, tapi hanya diam. Di Mal Klender, Jakarta Timur, banyak orang terbakar gosong.
Sampai sekarang, tak pernah jelas ini sebenarnya pekerjaan dan perintah siapa. Aparat keamanan negara masih utuh. Panglima ABRI-nya Jenderal Wiranto. Pangdam di Jakarta juga ada. Banyak jenderal yang memegang jabatan dan komando penting, termasuk komando intelijen. Tak masuk akal mereka tak tahu ini kerja siapa, dan dalam rangka apa. Tapi, kenapa sampai sekarang tak ada yang pernah bicara?
Inilah salah satu kelemahan bangsa Indonesia. Penuh ewuh pakewuh. Tidak mau bertanggung jawab, dan juga enggan menuntut tanggung jawab. Tidak kesatria. Dan juga terlalu pemaaf. Pimpinan ABRI saat itu kemudian masih dipercaya memegang berbagai jabatan, mendirikan partai-partai, bahkan jadi calon presiden. Kita menganggap semua seolah biasa. Seolah semua itu sekedar kesalahan sejarah, bukan manusia.
Kesalahan sejarah!
Sikap tidak ksatria, tidak bertanggung jawab, penuh maaf, dan menyalahkan sejarah ini seperti sudah menjadi warna kehidupan berbangsa kita. Sejak Soeharto lengser muncul banyak desakan agar pemerintah mengakui dan minta maaf atas banyaknya korban (tak bersalah) dalam dan sesudah Peristiwa G30S/PKI 1965. Karena banyak orang dipenjara, mati, dan hilang tanpa tanpa tahu salahnya atau diadili.
Apa yang terjadi? Hasilnya justru muncul isu-isu kekuatiran munculnya kembali PKI. Anak-anak muda yang tidak memahami komunisme cuma bisa terheran-heran, seperti dihadapkan pada hantu yang tidak bisa mereka lihat. Di negeri induknya, di Rusia dan Cina sana saja komunis sudah mati kok. Cina telah menjadi kapitalis. Tidak tanggung-tanggung, kapitalis yang merajai dunia.
Dalam banyak hal, kita memang telah menjadi bangsa yang tidak jelas. Kita menjadi bangsa yang terbiasa bersilat lidah. Lihatlah bagaimana orang menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama dari jabatan Gubernur DKI dengan dalih penistaan agama. Padahal dalam banyak hal BTP itu sangat Islami. Ia mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat miskin dan lemah, membangun masjid raya, meng-Umroh-kan pengurus masjid dengan dana operasional yang menjadi hak pribadinya, dan banyak lagi. Itu hanya permainan politik. Sekali lagi, permainan politik. Tapi kita seperti lupa. Bahkan tak sadar, gubernur penggantinya hanya banyak omong. banyak melakukan kebijakan pembangunan konyol, membuat kota ini jadi mundur, dan menguarkan uap korupsi.
Kesalahan apa lagi yang akan kita lakukan, untuk nanti kita lupakan?
Dunia terjungkir-balik ketika pandemic Covid-19 melanda bumi. Tidak ada negara hebat dan kaya, semua termehek-mehek. Pemerintah Indonesia berusaha melakukan penanggulangan yang terbaik semampunya. Bahkan negara seperti Amerika Serikat kalah dari Indonesia, karena mereka anggap remeh dan terlambat bertindak.
Tapi banyak pihak yang tak henti menyalahkan, membantah, dan melawan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi Covid, meski keluarganya pada ikut mati. Tidak patuh prosedur kesehatan. Bilang ini hanya isu, ini permainan industrsi farmasi. Kok takut pada virus? Kita perlu takut pada Alllah.
Bukankah virus yang melanda bumi ini dari Allah juga? Bukankah itu terjadi atas seijin Allah? Dan bukankah Allah telah memberi kita akal dan budi, untuk menerima dan berusaha mengatasi persoalan hidup kita? Ketika orang-orang tidak patuh, dan korban meningkat, itu salah siapa? Salah pemerintah?
Jangan lupakan sejarah. Jangan lupakan kerusuhan Mei 1998. Jangan lupakan kemunduran kota Jakarta. Jangan lupakan kesalahan kita menghadapi pandemi Covid-19. Jangan sibuk membenci. Jangan sibuk menyalahkan dan menghujat. Itu hanya menyesatkan dan membakar dirimu, membakar negerimu, membakar kita semua. Dan tidak ada orang sesat, tidak jujur, dan penuh kebencian menemukan jalan ke surga…
Jangan lupakan itu!