Menghadirkan seni wayang dalam kemasan lintas media kekinian, merupakan gagasan menarik. Wayang Orang dan Wayang Purwa sendiri merupakan pertunjukkan multimedia, di mana sastra, musik (gamelan), vokal, drama, tari dan sebagainya dipergelaran. Kini bertambah dengan komik dan film. Sangat menantang.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
KALANGAN pelestari seni wayang yang adiluhung memiliki kerisauan yang sama, yaitu bagaimana seni warisan budaya bangsa yang sudah diakui UNESCO sejak 2003 ini bisa terwariskan dan tetap lestari di tangan generasi penerus. Bagaimana generasi non Jawa, non Sunda dan non Bali, yang tetap mencintai wayang. Bagaimana generasi milenial menyukainya.
Segala ikhtiar dilakukan. Kini ketika era senima dan multi media modern, makin populer dan telah mendunia, pegiat wayang mencoba menyentuhnya. Tak mudah karena tantangannya komplek, perlu penguasaan teknologi, dengan roh, jiwa dan narasi yang harus digabungkan.
Pergelaran Wayang Lintas Media Rasa Rupa Bhisma yang digelar di Teater Kautaman Gedung Pewayangan – Taman Mini, Jakarta Minggu (21/8/2022) petang kemarin, adalah salahsatu dari ikhtiar itu. Belum mencapai sasaran yang maksimal. Tapi ikhtiar itu patut disaluti. Terus didukung dan harus dikembangkan.
Beban berat yang harus ditanggung oleh sutradara, penulis naskah dan crew yang terlibat adalah menselaraskannya. Di luar itu, cerita yang diusung adalah cerita besar. Tokoh fenomenal.
Bhisma adalah tokoh dengan kompleksitas masalah dan pesona. Dia sering digambarkan sebagai pemimpin yang lebih mencintai negara dari pada cinta dirinya. Seorang ksatria sakti yang menjadi resi. Ksatria mengorbankan masa remaja, wanita pujaannya, kekuasaan yang menjadi haknya, demi keutuhan negara. Dia berhadapan dengan wanita ambisius, anak anak yang lasak, dan anak asuh yang berperang dengan sesamanya, antar saudara dalam Perang Baratayudha. Pendawa melawan Kurawa.
Bhisma Dewabrata sendiri sosok yang multidimensi. Para pecinta wayang akan mengernyit setiap diajak berwacana tentang Bhisma. Cintanya, pengorbanannya, keturunannya, kutukannya, kematiannya – semua menjadi cerita tersendiri.
Jika hendak menghadirkan keseluruhannya terasa ambisius meski bukannya tak mustahil. Dan itulah yang dicoba tampilkan oleh Nanang Hape dan Agus Prasetyo (sutradara), Sugeng Yeah (Artistik), Tunggal Aji Sp (fotografi), Johari A Mawardi (komik), Dedek Wahyudi (karawitan), Herry W Nugroho (Tata Cahaya) dan Prabudi Hatma (multimedia). Mereka didukung oleh puluhan penari handal, yang umumnya bergelar sarjana seni.
Teater Wayang Indonesia (TWI), di balik gagasan pergelaran lintas media ini adalah kelompok seni yang terus berupaya menghadirkan pertunjukan wayang dalam kemasan kekinian. Pentas pentas yang digelarnya menyasar generasi milenial, dan menyesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi media yang ada.
Sungguh beruntung ada produser produser tanggung seperti Rini Hariyani dan Eny Sulistyowati, yang total mengabdikan diri pada pengembangan wayang. Pertunjukkan kali ini digelar menyambut HUT Sena Wangi ke 47 dan HUT Kemerdekaan RI ke 77.
“Teater Waqyang konsisten mengadakan wayang secara berkala dalam kemasan kualitas populer yang didukung seniman seniwati terbaik dari berbagai sanggar kelompok wayang Indonesia, “ kata Suparmin Sunjoyo. Ketua Umum Sena Wangi – Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, yang selalu hadir dan menyemangati pentas TWI.
Problem yang nampak dari proyek perdana menggabungkan berbagai media di panggung adalah penyelarasan. Panggung yang glamor masih belum nyambung dengan sinema yang bertata cahaya datar (siang dan terang di hutan) dan penampilan layar latar belakang pada candi yang temaram pada adegan berikutnya. Jumping.
Pilihan narasi oleh wanita dalam bahasa Indonesia juga tak lazim. Mengapa tidak menghadirkan dalang sungguhan yang di-shoot sebagai video. Dan tetap dalam bahasa Jawa dengan terjemahan bahasa Indonesia-nya.
Ide menghadirkan halaman komik di layar besar sungguh menarik. Untuk generasi kekinian, tak ada salahnya menyambungkan apa yang komik dengan pergelaran panggung. Maksudnya, kostum yang di komik langsung dihadirkan dalam wayang orang di panggung.
Dalam karya komikus sang legenda RA Kosasih, komik dalam kostum wayang yang hadir nampak lebih sederhana. Tapi di panggung Teater Kautaman, nampak gemerlap, berkilau dan rumit. Kurang nyambung.
Dari sisi perkisahan, problem batin Bhisma Dewabrata tak nampak – kurang menonjol. Atraksi tarian para penari lebih dominan. Dan cenderung berkepanjangan. Durasi 1 jam 40 menit dari pergalaran Bhisma berasa melelahkan.
Sekali lagi, gagasan menghadirkan seni wayang lintas media patut didukung, diapresiasi dan terus dikembangkan. Wajar bila pertama masih gagap. Untuk selanjutnya lebih baik lagi.
Tetap semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai Pusat Wayang Dunia. ***