Saya senang Citayam Fashion Week (or street?) menular ke mana-mana kaya covid. Ke Bandung, Malang, Surabaya, dan kemarin di Yogya.
Fashion street ala Malioboro Yogya jadi menarik dan beda, karena selain mengenalkan batik juga seni budaya tradisional Indonesia yang memang sudah seharusnya dilestarikan. Gak melulu serius tapi juga kocak.
Semoga bangsa ini makin sadar bahwa fashion dan budaya asli kita jauh lebih beragam dibandingkan fashion dan budaya di negeri mana pun.
Dan saya sendiri juga baru menyadari, saat sholat berjamaah di mushola atau masjid dekat rumah, ternyata cowok bergamis model dasteran semakin jarang. Jumat lalu malah gak ada. Sebagian besar kembali sarungan.
Justru yang unik, entah ketularan saya yang selalu ke mushola dan mesjid cuek pakai sarung batik, (geer banget yak) sekarang makin banyak yang berkain sarung gak lagi kotak-kotak, tapi kain sarung tenun aneka motif.
Lama-lama Jumatan lebih bergairah karena serasa kayak lagi Fashion in Masjid. Bukan kayak lagi umroh.
Dan makasih buat Baim yang setelah dihajar sana sini akhirnya tahu diri memutuskan melepas niatannya untuk mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Gitu dong.. Fashion on the street yang semoga mewabah dan berdampak positif (bukan covid lho ya) pada dasarnya adalah milik kolektif, milik bersama masyarakat Indonesia. Bukan milik pribadi.
Yuk kita berkreasi dan berbagi. Jangan melulu memperkaya diri.
Ramadhan Syukur