Foto : Andre Feo/Pixabay
Dari fakta pengalaman kehidupan, manusia mempunyai relasi ketergantungan mutlak pada alam semesta. Namun, sejarah mencatat bahwa tidak semua tingkah laku manusia menyadari ketergantungan mutlak tersebut.
Justru manusia yang dianggap berpendidikan, pandai dan menguasai ilmu pengetahuan justru melakukan banyak tindakan merusak alam lingkungan. Banyak alasan bisa dideretkan, namun pada prinsipnya ada kesombongan dan egoisme karena lupa akan kodrat alamiahnya. Maka ada semacam gugatannalam terhadap semua problema yang diciptakan manusia. Merefleksikan kenyataan tersebut, saya tuliskan dalam sajak:
Biar Bulan yang Bicara
Debu dan uap membubung
Awan hitam putih berarak
Bintang galaksi berbondong
Asap kawah dan polusi
juga nafas samudera berjalan
Semuanya menuju ke bulan
ada musyarawah alam semesta
Semua membawa masalah
agar dapat jalan keluar
Debu dan uap
keluhkan ulah kerakusan insani
Awan hitam putih
rekam aneka kejahatan manusia
Bintang galaksi
ceritakan kesombongan iptek
Asap kawah dan polusi
beberkan data korban pembunuhan
Nafas samudera
bau tengik sampah kebodohan
Alam lingkungan dirusak manusia
Dan
Bulan hanya diam mendengar
semua problema ulah manusia
Semua meminta bulan bicara
Bumi sakit parah menderita
Alam semesta resah lara
Hadapi kerakusan dan kebodohan
Saksikan kesombongan dan kebrutalan
Manusia sedang lupa diri
Semua meminta hukum alam
segera ditegakkan Sang Mentari
“Kami minta bulan bicara
Kami minta keadilan Pencipta”
Pada akhir musyawarah
setelah semuanya bicara
sampaikan aneka problema
perilaku dan ulah manusia
Maka
Bulan angkat bicara
“Akan kutampung semuanya
Segera kulaporkan pada Matahari
agar dapat jawaban pasti
dengan titah Sang Ilahi
Lalu
Aku bulan pasti bicara
pada apel saat purnama
kepada segenap isi semesta
dalam menghadapi manusia
yang ciptakan semua problema”
Merenungkan Ekspresi Menghadapi Kematian – Menulis Kehidupan 271