MENULIS ITU ASYIK (7): KOMUNIKASI
Oleh BELINDA GUNAWAN
Tugas luar negeriku yang pertama membuatku terpana bukan hanya pada gunung Fuji tapi juga pada depstore Isetan. Maklum, di Jakarta baru ada satu toko serba ada, yaitu Sarinah.
Nomor satu yang ingin kubeli di Isetan adalah oleh-oleh buat anakku. Tapi di mana aku mencarinya di toko sebesar itu, sementara semua petunjuk ditulis dalam huruf kanji? Kuhampiri seorang karyawan, pria muda, dan dengan bahasa Tarzan kuungkapkan maksudku mencari bagian anak-anak.
Dia lambat memahami. Akhirnya kuperagakan gerakan menggendong bayi, kuayun-ayun lenganku sambil berkata, “Baby… baby….”
So desu ka? mungkin dia berpikir begitu. Sambil tersenyum lebar dia menunjuk ke atas lalu memberi isyarat angka dengan jari. Mission accomplished.
Pengalaman lain: Aku dan rombongan kecil kerabatku berada di alam Jiu Zhai Kuo di Tiongkok. Kamarku di penginapan kehabisan sabun mandi. Daripada minta ke front desk yang penjaganya tidak berbahasa Inggris, kupikir lebih baik ke drugstore saja.
Setelah celingak-celinguk di antara beberapa rak, kuambil sebuah benda yang mirip sabun batangan dan kubawa ke kasir. Tapi entah kenapa ia menggoyangkan tangan dan menggelengkan kepala, seolah mengatakan: jangan, jangan. Temannya mengembalikan benda itu ke raknya, dan nona kasir bertanya bla-bla-bla, apa yang sesungguhnya kucari.
Walau sudah kuperagakan gerakan orang mandi, menggosok lengan sampai kaki, ekspresinya masih bingung juga. Akhirnya kuambil selembar kertas notes dari tasku dan kubuat gambar seadanya: orang sedang mandi di bawah shower. Dia tersenyum lega lalu menyuruh temannya mengambilkan… “sabun” yang tadi juga, yang memang sabun. Hah?
Komunikasi memang tidak mudah, friends. Di antara penulis dan pembaca pun, yang berbahasa sama, komunikasi bisa macet, nyasar, ketlisut. Salah paham kerap terjadi. Penyebabnya, antara lain adalah cara menulis yang jlimet.
Resepku dalam menulis? KISS, Keep It Simple, Sobat. Menulislah seperti kalian bercerita kepada si Sobat.