Denny JA
Penulis Buku, Cerpen dan Esai
Founder LSI Denni JA, Konsultan Politik, Pengusaha
“Ini dia kisah yang sedih.
Putrinya pergi dari Betawi.
Karena si bapak keras sekali.
Paham agama dibawa mati”
Lirik ini kelak dinyanyikan.
Mengikuti Irama Si Jali-Jali.
Alat musiknya, Sukong. (1)
Dan suara wanita yang perih. Menyengit.
Ke ulu hati.
Yess! Yess! Yess!
Rosa melompat dari kursinya.
Rasa girang ikut melompat.
“Ini awal dari film itu.
Yess! Ini awal yang asyik!”
Tiga tahun sudah.
Rosa rampungkan cerita.
Kisah seorang putri.
Ia LGBT.
Diusir Ayahnya dari rumah.
Sang Putri pergi ke Amsterdam.
Menemui Paman di sana.
Sang Paman pelarian politik.
Dianggap simpatisan Lekra.
Kisah tragedi budaya tahun 60an.
“Yes! Yes! Yes!
Hati Rosa mengangkasa.
Rampung juga kisah ini.
Rosa sudah ke Amsterdam.
Ia sudah wawancari sang Putri.
Ia sudah wawancarai Sang Paman.
Di Amsterdam,
Rosa sempatkan diri.
Ia merenung di Homomonumen. (2)
Ia ikut tiduran di sana.
Seperti dilakukan banyak turis.
Itu monumen pertama untuk kaum Homoseks.
Rosa sempatkan pula.
Duduk di Cafe’t Mandje (3).
Ia minum Jenever.
Ia coba Chessy Cake.
Di kafe pertama kaum homoseks.
Ia ingin rasakan aura.
Ambiance.
Sang bapak, yang mengusir Putri, sudah mati.
Tapi Si Ibu masih hidup.
Tua dan sedih.
Sudah pula Rosa mendengar hati Si Ibu.
-000-
1989, tahun yang duka.
20 tahun usia Putri.
Itu era perang keluarga.
Curiga menjadi nyata.
Putri seorang lesbian.
“Enyah kah dari sini!
Neraka tempatmu.
Tega kau dengan agamamu.
Tega kau dengan orang tuamu.”
Bapak mengusir dengan bengis.
Ibu urut dada sambil menangis.
Bapak dikenal sebagai Ustad.
Guru ngaji dan Imam sholat jumat.
Ia dipuja puji.
Hafal Quran.
Ke Mekkah berkali- kali.
Rupanya Putri sudah berencana.
Ia sudah kontak Paman di Belanda.
Putri pun terbang ke Amsterdam.
Tahun 1989, Ibu masih tahan.
Tahun 2001, Ibu kesepian
Bapak sakit-sakitan.
Lalu wafat.
Sendirian.
“Pulanglah Nak, pulang.”
Demikian ratapan Ibu.
Berharap Putri kembali.
Satu kakak Putri ikut membujuk.”
“Aku LGBT, Ibu.
Bukan tak mau kembali.
Ibu tak akan tahan.
Tetangga akan bergunjing.”
“Di sini, di Amsterdam, Aku bebas.
Tempatku di sini.
Paman menjagaku.”
“Tapi bukan soal Paman.
Tapi bukan soal kau pergi.”
“Anakku, Amsterdam akan meledak.
Kota itu akan meleleh.
Bagaimana nasibmu kelak.”
Setiap tahun Ibu katakan itu.
“Amsterdam akan hancur.
Kota itu menjadi puing.”
Sejak tahun 2001.
Tahun 2002.
Kini tahun 2021.
Dua puluh tahun sudah.
Kalimat itu menjadi mantra.
“Amsterdam akan meleleh!
Amsterdam akan hancur!”
Kakak Putri seorang terpelajar.
Kepada Ibu, Ia berkisah.
Betapa Belanda, negara pertama. (3)
Kaum homo bisa menikah.
Lesbian bisa kawin.
“Astaga!” Ibu kaget.
Takut.
Ibu tak cinta Belanda.
Itu negara penjajah.
Kakeknya menderita.
Jadi kacung Belanda (4).
Tapi di Belanda sana.
Hidup Putri tercinta.
Walau murtad agama,
Putri tetap anaknya.
“Ampun, Tuhan.
Kembalikan putriku
ke Jalan lurus.
Bayangan itu, yang Ibu Ingat.
Kisah Sodom dan Gomorrah.
Dua kota itu hancur, meleleh.
Dihukum Tuhan.
Karena penduduknya.
“Astaga. Banyak homoseks.”
Kisah itu berulang Ibu dengar.
Sejak kecil, dari guru ngaji.
Sejak dewasa, dari suami.
Kini ketika tua, dari putranya.
Melalui handphone,
Melalui video call,
Berulang, Ibu mohon pada Putri.
Habis sudah air mata.
“Pulang, anakku.
Amsterdam akan meledak.
Seperti Sodom dan Gomorrah.”
Putri kok menjawab enteng saja.
Resah ibu, Putri balas tawa.
“Ibu, ini sudah 20 tahun.
Berulang- ulang Ibu nyatakan.
Buka mata Ibu.”
“Lihatlah, 29 negara.
Semua melegalkan pernikahan sejenis.
Tak ada kota yang meleleh itu.”
“Amsterdam tidak meleleh.
New York juga tidak.
Paris tidak.
London juga tidak.
Brasilia Tak meleleh.
Taipei juga tidak.”
“Tak ada kota yang meleleh.
Ibu salah memahami kisah Sodom dan Gomorrah.”
Tahun 2021,
Usia Ibu sudah 80 tahun.
Kepada anak lelakinya,
Ibu juga bertanya.
“Mengapa Amsterdam tidak meletus, Nak?
Mengapa Sodom dan Gomorrah tak terjadi di sana?”
“Bu, jangan dengar Putri.
Ia sudah murtad agama.
Tuhan punya kearifan sendiri.
Ibu juga jangan ragu agama.”
Sang Putra tegas dan keras.
Meyakinkan Ibu kembali soal agama.
-000-
Tahun 1962, era gunjang ganjing.
Usia paman 20 tahun.
Ia seorang cerpenis.
Jatuh cinta pada paham budaya.
Bersatu dalam Lekra. (4)
“Rakyat kecil harus dibebaskan.
Keadilan harus ditegakkan.
Seni bukan untuk seni.
Seni untuk kemanusiaan.”
Paman gemar membaca.
Tinggi imajinasi.
“Hidup untuk belajar.
Tapi hidup juga untuk berjuang,” ujar Paman.
Tahun 1962, Paman dapat beasiswa.
Ia pergi ke Rumania.
Astaga. Tak Paman duga.
Tahun 1966.
Bung Karno terguling.
Suharto berkuasa.
Seseorang mendatangi Paman di Rumania.
Ia diminta ikrar kesetiaan.
Dukung Suharto.
Dukung Orde Baru.
Paman menolak.
Passportnya dicabut.
Untuk bertahan hidup.
Paman menikah dengan gadis Rumania.
Tahun 1989, rezim sosialis tumbang di Rumania.
Zaman baru tiba.
Kembali Paman goyah.
Paman pun pindah ke Belanda.
Di Amsterdam, Paman buka Restoran Indonesia.
Paman juga menjadi aktivis LGBT.
Di tahun 2001, Belanda negara pertama.
Melegalkan pernikahan sejenis.
Sejarah dimulai di sana.
“Tralala, Trilili, Tralala lali
Cinta menang. Cinta menang!”
Ketika aktivis homoseks pesta pora.
Rayakan sejarah baru.
Surga bagi LGBT.
Paman ikut itu parade.
“Tralala, Trilili, Tralala lali”
Cinta lebih perkasa.”
Ketika Job Cohen menikah.
Tahun 2001 (5).
Pasangan gay pertama menikah resmi.
Paman juga hadir.
Tak heran, Putri merasa nyaman.
Paman pun menjadi mentor.
Putri tumbuh.
Ia aktivis LGBT.
Militan. Gigih.
Juga karena luka.
Di tahun 2021, usia Paman 79 tahun.
Ia adik kesayangan Ibu.
Hanya setahun lebih muda dibandingkan Ibu.
“Dik, aku minta tolong padamu.
Bujuk anakku, Putri, untuk pulang.
Usiaku sudah senja.
Aku tak ikhlas wafat,
Sebelum memeluk Putri.”
“Aku coba ya, Kak.”
Hanya itu yang Paman jawab.
Tapi Putri tak pernah kembali.
“Amsterdam akan meleleh, Dik.
Itu jelas tertulis di kitab suci.
Sodom dan Gomorrah akan berulang di sana.”
Ibu selalu meyakinkan adiknya.
Paman selalu menjawab:
“kakak tenang saja.
Semua baik baik saja di sini.
Agama tak dianggap penting di sini kak.
Kulturnya beda.”
“Tapi di sini.
Warganya bahagia.
Sejahtera.
Pemerintahannya bersih.(6)
Jika kakak tak percaya.
Tanya Putra.
Minta Ia cari informasi.”
“Putri bahagia di sini.”
-000-
Yes! Yes! yes!
Kembali Rosa ekstasi.
Girang alang kepalang.
Kisah di atas sudah Ia sukai.
“Tapi bagaimana ending filmku kelak.
Tinggal endingnya,” tanya Rosa mendalam.
Ia merenung.
Terdiam.
“Yes!
Kembali Rosa tersenyum.
Endingnya mirip dengan opening.
Kembali nada lagu “Si jali- jali” dimainkan.
Dengan sukong.
Dengan suara wanita merintih.
“Endingnya harus pas.
Aku ingin penonton pulang.
Dengan air mata.
Membawa satu inspirasi.
Cinta lebih kuat dibandingkan Agama.”
Mundar- mandir Rosa.
Mencari kata yang tepat.
“Ok. Ini liriknya:”
“Cinta Ibu begitu dalam, sayang.
Lebih dalam, lebih dari, paham agama.”
(Subuh itu, selesai sholat,
Ibu wafat. Sebelum wafat, sempat Ia ucapkan nama itu. “Putri anakku, Ibu rindu. Pulang, Nak.”) ***
Maret 2021
CATATAN
- Sukong itu nama alat musik khas betawi. Ia alat gesek. Badannya batok kelapa. Alat ini berasal dari Arab
Alat Musik Tradisional Lintas Budaya – SUDIN …
- Homomonument di Amsterdam dianggap monumen pertama yang dibangun di tahun 1987, untuk memperingati kaum Gay yang banyak dipersekusi.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Homomonument
- Cafe’ t Mandje di Amsterdam juga dianggap kafe pertama khusus untuk kaum gay. Kafe ini dibangun tahun 1927, Bet van Beeren, seorang lesbian.
www.travelgay.com › cafe-t-mandjeCafé ‘t Mandje, Amsterdam – gay bar in Amsterdam …
- Lekra: Lembaga Kebudayaan Rakyat, berdiri tahun 1950. Lembaga ini mengusung platform sosialis realisme, Yang dianggap berafiliasi dengan komunisme.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Kebudajaan_Rakjat
- Job Cohen juga asal Belanda, dianggap orang pertama yang menikah sejenis setelah pernikahan sesama jenis disahkan dalam sejarah, di tahun 2001.
www.nytimes.com › world › first-ga…Web resultsFirst Gay Couples Marry in the Netherlands – The …
- Diukur dengan banyak indeks, World Happines Index, Human Development Index, dan Corruption Perception Index, Belanda dianggap negara yang sangat berhasil. The Netherlands one of the top 10 happiest countries