Banyak hal yang kami perbincangan. Beberapa kali ketemu di luar, khususnya di kediaman pematung Dolorosa Sinaga di kawasan Pinang Ranti, sastrawan cum wartawan ini selalu dikelilingi orang ramai kenalan, selain fans. Petang kemarin kami fokus berbicara berbagai topik berempat saja. Tentang sastra dan jurnalisme, tentang tokoh tokoh kiri, tentang Ali Sadikin, proses kreatif dan karya karyanya. Juga buku baru. Pokoknya segala macam.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
LEGA hati saya akhirnya bisa menyambangi kediaman Pak Martin Aleida, di kawasan Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sore itu. Sastrawan cum wartawan, cerpenis ‘spesialis’ tragedi 65, salahsatu perintis jurnalisme sastrawi majalah TEMPO, masih produktif di usianya yang telah melampaui 80 tahun.
Bermula dari kiriman ‘screenshoot’ cerpen Kompas karyanya yang terbaru, ‘Perkenalkan Uno’ yang tayang di Kompas Minggu, edisi 5 Januari 2025. Cuplikan layar pemuatan cerpen itu dikirim oleh Eka Budianta, rekannya sesama jurnalis di pagi pk.07.00. Dia tak tahu pemuatannya, karena kiriman koran ke rumah terlambat. Atau tidak terkirim. Cuplikan layar itu pun dikirim lagi ke saya.
Semakin sedikit orang saja berlangganan koran saat ini, membuat loper enggan mengirim suratkabar ke pelanggan. Dan semakin sulit menemukan di lapak. Keberuntungan bangun pagi adalah mendapatkan KOMPAS edisi cetak di lapak perempatan, selain lontong sayur atau bubur ayam. Kompas cetak itu bacaan wajib kalau ketemu tukang koran. Di rumah bertumpuk buku.
Kiriman cuplikan layar di hape ikhwal cerpen yang dimuat itu menggugah saya untuk sowan ke rumah Pak Martin, begitu saya memanggilnya. Karena cerpen kali ini beda dengan biasanya. Tidak berbau konflik 65 – sebagaimana karya yang menjadi ciri khasnya.
“Pak Martin mau dibawakan apa?” saya menawarkan lewat WA.
“Bawakan doa terbaik untuk saya, jumpa ” jawabnya.
Martin Aleida memasuki usia 81 tahun menjalani amputasi di atas lutut kanan, mencegah virus di jaringan telapak kakinya menyebar. Dia terkurung di kursi roda tidak untuk menunda kematian, tapi menuliskan kisah hidup yang belum tersampaikan – begitu catatan Kompas menulis tentangnya di bawah cerpen yang termuat..
Saya mengajak serta Lilik Sugianto Lie dan Matt Bento Herman Wijaya yang hobi mengumpulkan dokumentasi tokoh ternama. Sementara saya mengajak ngobrol dia sibuk merekam dengan kamera dan hapenya. Saya mengajak Lilik supaya enteng tangan membawa oleh oleh. Dan benarlah saat temu janji di stasiun Pasar Minggu. Dia bawa tas plastik isi buah dan oleh oleh lainnya. Kami naik GoCar menuju rumahnya.
![](https://seide.id/wp-content/uploads/2025/01/Martin-Aleida-dan-Sri-Sulasmi-large.jpg)
Sri Sulasmi, yang dipacarinya saat terjadi tragedi 1965 setia mendampingi dalam suka duka. Martin yang asal Medan menikahi wanita asal Solo itu.
MARTIN ALEIDA kini berusia 81 tahun, isterinya 76 tahun. Mereka tinggal berdua di rumah yang kurang terurus. Maklumlah, sama sama sepuh. Kepada Lilik dia minta maaf, jika rumahnya berantakan. Saya memaklumi.
Sri Sulasmi, yang dipacarinya saat terjadi tragedi 1965 setia mendampingi dalam suka duka. Martin yang asal Medan menikahi wanita asal Solo itu. Mereka mendapatkan empat anak, tapi tinggal dua. Satu di Semarang, satu di Depok. Sesekali datang. Selebihnya mereka sendirian. Kadang pembantu membereskan ini itu. Tapi rumahnya yang banyak pepohonan juga mengirim daun kering dan debu ke rumah. Selain tikus kecoa dan serangga lainnya.
Selepas keluar dari majalah TEMPO, mantan jurnalis ‘Harian Rakyat’ (milik Nyoto, tokoh PKI itu) dia bekerja untuk PBB dan di sanalah sumber cerita itu ditulis. Tentang tokoh kita yang punya atasan yang keras, eksentrik, perfeksionis dan bikin stress. Tapi juga tak terlupakan.
Hal menarik dan mengejutkan dalam cerpen itu melibatkan nama sosok yang ternyata ibunda dari aktris Dian Sastrowardoyo dan cucu dari penyair Subagio Sastrawardoyo. “Dia bekerja di sana bareng saya. Dia stress juga menghadapi orang itu, ” katanya dengan terkekeh. Eka Budianto juga cabut, dan tak kuat menghadapi boss yang keras itu.
Banyak hal yang kami perbincangan. Beberapa kali ketemu di luar, khususnya di kediaman pematung Dolorosa Sinaga di kawasan Pinang Ranti, sastrawan cum wartawan ini selalu dikelilingi orang ramai kenalan, selain fans. Petang kemarin kami fokus berbicara berbagai topik berempat saja. Tentang sastra dan jurnalisme, tentang tokoh tokoh kiri, tentang Ali Sadikin, proses kreatif dan karya karyanya. Juga buku baru. Pokoknya segala macam.
Dia sangat bersemangat. Pendengaran bagus dan tutur katanya tegas. Aksennya khas Sumatera Utara. Dari sastrawan asal Tanjung Balai ini, saya bukan hanya menyukai cerpen-cerpen dan eseinya, melainkan juga gaya bicaranya. Ini Drs. Asrul Sani ‘versi lain’, yang memikat bukan hanya dari naskah naskah yang dia tulis, namun juga dari gaya penyampaiannya.
Pak Martin repot membawa sendiri sepiring pisang rebus. Isterinya mulai dimensia, katanya. Kadang setelah menyalakan kompor lupa mematikannya. Martin harus awas dan rutin cek ke rumah sakit untuk memeriksanya.
Keberuntungan saya dalam hidup adalah berjumpa dengan para legenda. Affandi, R. Basoeki Abdullah, Sri Hadi, Abbas Alibasyah, Djoko Pekik, WS Rendra, Hardi, Guruh Sukarnoputra, HB Yasin, Drs. Asrul Sani, Teguh Karya, Sutardji Calzoum Bachrie, Pramoedya Ananta Toer, Remy Sylado, dan Martin Aleida.
Saya tak mau kehilangan moment berharga, berbincang sedalam dalamnya dengan tokoh tokoh yang mensejarah ini.
Martin adalah salahsatu sastrawan kiri, yang masih berjaya. Sebagaimana korban tragedi ‘65 lain, kebanggaannya yang disampaikan secara adekdot adalah “usia saya lebih panjang dari Suharto” dilanjutkan tawa pahit sebagian, dan terkekeh di korban 65 yang lain.
DIKTATOR Orde Baru itulah yang harus bertanggung jawab atas pembantaian simpatisan PKI dan sudah pindah alam sejak 17 tahun lalu ; jendral yang mengubah sejarah jutaan orang dan menciptakan drama dan tragedi. Mereka yang diburu, dibantai, dan dikucilkan, dibuang, sebagiannya bertahan. Martin salahsatunya. Sekeluar dari tahanan tanpa pengadilan, dia menghadapi tahanan lebih besar, masyarakat yang antipati pada komunis.
Bersama sama Hersri Setiawan, Hario Kecik, Adam Wipsi, S. Anantaguna, A.S. Dharta, Amrus Natalsya, dan Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Martin Aleida menjadi legenda hidup sosok seniman kiri yang masih berkarya hingga kini. Dia terus menulis di usianya yang menapak ke 81 kini.
“Pak Martin ‘The Last Man Standing’ ya?” saya bertanya dengan sedikit seloroh, mengingatkan pada Yok Koeswoyo, sebagai musisi terakhir dari legenda Koes Bersaudara dan Koes Plus.
“Nggak juga. Masih ada beberapa, ” jawabnya cepat. “Putu Oka Sukanta masih hidup juga, dia tinggal di daerah dekat gedung Balai Pusata, ” katanya.
Putu Oka Sukanta adalah sastrawan asal Singaraja Bali yang menjalani 10 tahun bui selepas tragedi 1965. Putu juga masuk daftar aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra ) dan dibui pada 21 Oktober 1966 sampai 1976 tanpa adanya proses pengadilan.
Matahari condong ke Barat, cahaya dari luar meredup, ruang tamu jadi meremang, saat yang tepat buat kami pamit pulang, setelah dua jam terlibat pembicaraan yang intens.
Pak Martin dan Ibu Sri melepas kami dengan keramahannya. Jujur, ada rasa berat meninggalkan mereka berdua. ***