Untuk pertama kali sejak berkenalan 30 tahun lalu, saya mengunjungi rumah KP Hardi Danuwijoyo di kawasan Kompleks DKI Joglo, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Sesungguhnya hubungan kami sebagai wartawan dan seniman cukup dekat – tapi selama bertahun tahun selalu bertemu di luar. Kami berkenalan di Balai Budaya – Menteng, Jakarta, lalu menyambangi pameran karyanya di TIM Cikini dan di hotel hotel tempat dia berpameran di zaman booming lukisan, juga di Bentara Budaya Palmerah, baru baru ini, dan Senayan City atau Plaza Senayan, tempat konglownya selama ini.
Rumah KP Hardi Danuwijoyo adalah rumah seniman. Aroma seni segera menyambut para tamu sejak dari pintu depannya, dan semakin nampak nyata di ruang dalamnya. Benda benda seni bertebaran. Ada lukisan, patung, perabotan jati antik, buku buku dan koleksi keris dimana selain mengoleksi dia juga membuat karya baru, “Jangker” – paduan kujang dan keris – sehingga dia dikuluki Empu. Empu Hardi. Setara Empu Gandring.
“Saya satu satunya Empu Keris yang kuliah hingga Belanda, ” seloroh perupa yang genap 70 tahun pada 26 Mei 2021 ini.
Antara tahun 1975 – 1977 Hardi memang mengenyam pendidikan di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda. “Empu Gandring ‘kan nggak kuliah. Apalagi sampai Belanda, ” katanya, sembari terkekeh.
Lewat keris Hardi melabrak tabu. Dia membuat karya baru. Pamor baru. Selama ratusan tahun, corak dn model keris tak berubah pamornya. Hardi mengubahnya.
“Bagian yang diabaikan orang selama ini adalah para empu itu sebelum jadi pembuat keris adalah pelukis. Bagaimana membuat keris sebagai karya seni, tanpa melukis dulu? ” katanya.
Kini ruang tamu yang diisi jajaran keris itu dijadikan studio Magejibril, putranya, yang kondang sebagai photograper dan videografer – dengan jadwal kerja yang padat di masa pandemi ini.
JIBRIL FITRA ERLANGGA adalah anak kesayangan KP Hardi Danuwijoyo. Dia mewarisi “DNA” perlawanan dari bapaknya, yang selain dikenal sebagai seniman dan budayawan juga tokoh anti kemapanan.
Lawan pertama Jibril – lulusan Fak Kesejahteraan Sosial UI – tak lain adalah ayahnya sendiri. KP Hardi.
“Saya mau jadi seniman, tapi bukan pelukis, ” katanya. Jibril sengaja menyatakan itu di depan bapaknya. Tegas. Dan bapaknya ketawa saja. Segera saya teringat gaya perlawanan Lukman Sardi yang memilih jadi aktor film ketimbang jadi musisi, menolak ikut jejak ayahnya, Idris Sardi (alm), yang kondang sebagai Maestro Biola itu.
Nyatanya Jibril jadi videographer sukses. Dia sibuk mengerjakan project dari perusahaan besar sudah dipercaya brand kamera terkenal untuk memakai produknya yang senilai ratusan juta. Jibril F. Erlangga sudah mengimbangi prestasi bapaknya, tanpa harus demo dan ditangkap aparat – sebagaimana dialami Hardi semasa masih jadi mahasiswa ASRI di tahun 1970-an dan seniman di TIM dulu di era 1980-an.
MENGUNJUNGI rumah Hardi, tokoh Pelopor Senirupa Baru itu, saya datang sebagai jurnalis seide.id, bersama Harry Tjahjono, jurnalis senior yang juga cerpenis, novelis, pemred tabloid hiburan, teman Arswendo Atmowiloto (alm).
“Saya menunggu moment ini, Mas. Senang sekali bisa mampir ke sini, ” kata Harry saat baru tiba. “Ya, saya hanya berkunjung saja. Sama Mas Hardi saya kalah awu …” kata seniman dan wartawan ini malu malu.
Kalah awu artinya kalah wibawa. Harry mengaku kenal Hardi sejak 1980an tapi enggan mendekat. Soalnya masa itu Hardi sudah dikenal sebagai ‘jagoan’ dan galak. “Kalau ada acara diskusi seni, terus ada Mas Hardi pasti ramai, ” kenang Harry. Maksudnya suasana jadi rusuh.
Harry Tjahjono mengenangkan, Hardi adalah orang yang dalam acara diskusi seni kedatangannya tidak dikehendaki. “Tapi kalau orangnya nggak ada ditanya’in ! ” komentar Harry.
Seniman yang namanya disebut itu membenarkan. Harry juga menyatakan, Hardi selalu bikin ulah hingga menarik perhatian penonton.
Hardi pun mengiyakan. Hardi mengaku pernah digertak oleh dosennya, Darmanto Yatman (alm) yang jadi tokoh pembicara dalam acara diskusi.
“Hardi kamu diam! Kamu jangan bicara! Kamu mahasiswa saya yang paling bodo – sekarang giliran saya bicara, ” ancam Darmantyo Yatman, dosen psikologi di ASRI yang kondang juga sebagai penyair mbeling.
Sekali waktu TIM menyenggaraan acara pembacaan sajak. Melibatkan para penyair kondang. Hardi diminta ikut baca. Tak disangka wartawan Kompas yang meliput acara lebih menyukai penampilannya dan menampilkan foto aksinya di halaman depan. Para penyair di TIM pun mengamuk.
WAWANCARA eksklusif kami dengan KP Hardi Danuwijoyo yang divideokan oleh Magejibril Production itu berlangsung dalam tiga babak. Masing masing 20 menit.
Saya banyak menanyakan perkembangan senirupa mutakhir, mas Harry Tjahjono wawancara untuk kronik kebudayaan dan sesi ke tiga topik beralih ke politik dalam pandangannya sebagai seniman.
KP Hardi adalah seniman multidimensi. Dia juga pesilat Bangau Putih pimpinan Subur Rahardja (alm) – dengan julukan “Murid Pewaris 18 Huruf Daun Goan” dan menjadi pelatih sejak 1990.
Kepada kami, KP Hardi mengaku dulu dia kekiri kirian; ikut sosialisme. Lalu condong ke kanan, menikmati kemakmuran kapitalisme. “Sekarang saya sudah pas di tengah, ” kata seniman kelahiran Blitar dan pengagum Bung Karno ini.
Wawancara eksklusif dengan KP Hardi Danuwijoyo akan tayang awal Juli 2021 ini menandai kehadiran laman seide.id, media yang mengumpulkan para penulis senior. ***