Menyikapi Remaja dan Teman Sebaya vs Orang Tua

Menyikapi Remaja dan Teman Sebaya vs Orang Tua

Orangtua semesstinya memberi ruang lebar-lebar untuk mendengarkan anaknya, agar anak juga bersedia mendengarkan

Polresta Bogor menangkap pelajar ASR (17), pelaku utama pembacokan maut kepada siswa SMK Bina Warga 1, AS (16), di lampu lalu lintas (traffic light) Pomad di Jalan Raya Jakarta-Bogor, Parigi, Bogor Utara, pada Jumat (10/3/2023). Polisi menangkap ASR di Yogyakarta, Kamis (11/5/2023) dini hari, di sebuah warung mi di Bantul. – Kompas.id

Akhir-akhir ini publik dikejutkan frekuensi kasus kriminal yang dilakukan remaja. Seperti kasus yang dipaparkan di atas.

Terungkap bahwa tindakan kekerasan jalanan oleh tiga pelajar itu berawal dari tantangan di media sosial. Ketiganya berboncengan menyusur jalan dengan membawa senjata tajam dan menyasar secara acak pelajar yang mereka temui di jalan. Salah satu pelajar yang menjadi korban, AS, tewas akibat terkena bacokan, padahal, dia tidak pernah terlibat dalam aksi provokasi melalui media sosial yang dimaksud– dikutip dari Kompas id

Sial? Ya, kita mungkin bisa bicara begitu. AS yang mungkin remaja baik-baik, mendapat kesialan menemui ajal dengan cara mengenaskan.

Keresahan masyarakat akan perilaku remaja, sebenarnya bukan hanya di Indonesia. Di negara asal Korean Wave yang hype-nya menjangkau anak muda sampai pelosok Indonesia, kasus kriminal termasuk perundungan (bullying) dengan pelaku usia remaja, yang nyaris menyerupai adegan series The Glory sama mengkhawatirkannya.

Sebuah kutipan berita dari Naver mengungkapkan, 4 remaja di Daejeon (3 anak SMP dan 1 anak SD) kabur setelah kecelakaan mengendarai mobil listrik yang mereka curi, ketika mobil listrik ditinggal pemiliknya untuk dicharge. Si pengendara (diketahui kelas 4 SD) tak mampu mengemudikan dengan benar, akhirnya menabrak plang di depan sebuah pom bensin.

Miris ya. Salah siapakah ini? Orang tua? Media Sosial? Film? Teman sebaya?

Remaja, yang merupakan fase peralihan menuju dewasa adalah masa gampang-gampang susah, tak semulus yang diperkirakan atau diharapkan orang tua.

Proses pengembangan identitas diri yang merupakan proses kompleks, di mana terjadi pubertas, perubahan hormon, pengaruh teman sebaya yang penting, menjadi tantangan yang sungguh tak mudah.

Dengan ringan sebagai orang tua, kita mungkin berpesan, “Tolak dan tegas dong, untuk bilang nggak mau bolos, atau merundung teman.” Kenyataannya di sekolah, di lingkungan pergaulan, remaja menghadapi seorang diri situasi tersebut. Yang terkadang di bawah ancaman kekerasan fisik atau pengucilan diri.

Mengapa Peer Pressure Sangat Dominan Bagi Remaja?

Kelompok sebaya memberi pengaruh utama dalam kehidupan remaja. Remaja sedang belajar menjadi lebih mandiri dan sering merasa bingung dengan perilaku orang tua dan pesan yang kerap ambigu, termasuk mengandung ancaman. Seperti, “Awas kalau kamu macam-macam ya …!”

Tugas psikososial pada masa ini, menurut teori Erikson adalah mengembangkan identitas kelompok dan rasa identitas pribadi dan menjalin hubungan personal yang akrab, baik dengan teman pria maupun teman wanita.

Merasa diterima, menjadi bagian dari kalangan tertentu, masuk dalam kelompok populer, menjadi harapan yang besar untuk remaja melewati fase sulit dengan perubahan-perubahan dalam fisik dan mentalnya.

“Ya, tapi waktu saya remaja, itu bukan hal yang sulit kok.”

Atau,

“Ah, remaja sekarang aja yang lembek. Apa-apa bilang kena mental, apa-apa perlu healing.”

Yang perlu kita pertimbangkan kehidupan dan dunia kita ketika remaja dulu, tak segegap gempita saat sekarang.

]Utamanya, saat itu tak ada internet dan media sosial. Dengan ketersediaan tanpa henti selama 24 jam, dengan komentar atau tanggapan tentang postingan kita dari siapa saja, dikenal maupun hanya tahu dari akun saja.

Keinginan diakui dengan memamerkan kehidupan yang ‘keren’, barang berlabel dan tren, memberi kamuflase yang tak melulu sama antara dunia maya dan dunia nyata. Hal itu menjadi sesuatu yang tak selalu disadari kaum remaja. Dalam pandangan mereka, demikianlah yang keren, yang oke, yang diterima.

Lalu, Bagaimana Menyiasati Peer Pressure Ini?

Laman Childrens.com mengungkap tak ada yang lebih baik selain orang tua membuka ruang komunikasi selalu dengan anak-anaknya.

Dengan sering berdiskusi tentang berbagai hal termasuk masalah keseharian yang remaja hadapi; tentu dengan pesan penting bahwa apapun yang terjadi, keluarga akan selalu menjadi rumah untuk tempat mereka kembali, di mana segala permasalahan dihadapi bersama.

Namun, secara teori mudah, kenyataannya tidak demikian. Tak selalu mudah meminta remaja untuk bercerita, apalagi dengan orang tua atau dewasa; dengan asumsi tak semua relasi anggota keluarga selalu baik adanya.

Dari sebuah series drama Jepang yang mengungkap peliknya psikologis remaja yang saya tonton, ditemukan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan orang tua atau orang dewasa dalam proses memahami mereka. Beberapa tampak sepele, yang mungkin tak terpikir oleh kita selama ini.

1. Akan ada hal yang disembunyikan remaja

Meski bersama-sama dalam sebuah kelompok pergaulan, tak selalu semua anggota kelompok itu juga tahu ‘rahasia’ satu sama lain.

Alasan tidak diberitahu, karena bisa membuat remaja menjadi malu (kelainan genetik, kecacatan diri, kondisi keluarga)

2. Soal Berani, Berbohong, dan Menghindar

Pada beberapa kejadian, tak selalu remaja BERANI melakukan hal apapun yang diminta teman-temannya. Ada pertentangan antara yang diajarkan orang tua, keluarga, atau bahkan agama, dengan yang diminta teman sebaya.

Beberapa berpendapat, supaya tidak terlibat hal buruk, langkah terbaik adalah mengarang cerita bohong untuk menghindar.

Hal ini berlaku sama sebagai jalan keluar menghadapi orang tua yang sangat strict dan tidak bisa menerima pendapat anaknya. Mengarang cerita untuk menghindar, dengan harapan tak seorang pun mengetahui kebenarannya.

3. Pada beberapa kasus perundungan, kondisi fisik atau kepintaran seseorang bukan menjadi penyebabnya, malah nama atau nama panggilan remaja tersebut.

Walau nama adalah doa orang tua, pemberian nama yang berpeluang menjadi olok-olok ketika anak tersebut beranjak remaja, sebaiknya menjadi pertimbangan orang tua. “Ah, lemah kamu, baru diejek namanya saja, udah takut! Bapak dulu, dibuat joke dipanggil nama kakekmu tidak apa-apa.”

(Nah, terjadi perbandingan generasi lagi, ‘kan)

Faktanya, ketika ejek-ejekan nama itu terjadi secara intens, yang sering diplesetkan dengan hal lain yang memperbesar potensi tertawaan, apakah mental remaja kuat menghadapi hal tersebut; atau malah menjadi situasi mempermalukan, yang ‘menyesakkan’ dari hari ke hari, tanpa memungkinkan hadirnya orang tua ketika hal itu terjadi?

4. Teman bagi remaja adalah utama. Dan itu bukan kita orang tuanya.

Keakraban remaja dengan orang tuanya lebih untuk menjadi teman cerita ketika seluruh dunia tidak ramah lagi kepadanya, bukan untuk teman sehari-hari.

Tak semua remaja merasa nyaman dengan kehadiran orang tua yang menginvasi personal space, seperti sembarang masuk ke kamar mereka, melihat-lihat isi laptop atau ponsel apalagi mengetahui password aplikasi.

Tak semua remaja merasa nyaman orang tua selalu hadir dalam setiap acara remaja, yang tidak mengharuskan kehadiran orang tua. Umumnya karena mereka merasa orang tua terlalu protektif, tidak memercayai mereka sudah bertambah besar dan masih menganggap mereka sebagai anak-anak.

5. Tak semua hal hendak remaja bicarakan dengan orang tua

Walau hubungan orang tua dan anaknya yang bertumbuh menjadi remaja, cukup dekat sejak kecil; tak semua remaja membutuhkan orang tua yang melulu sok tahu, sok paham, dan sok dekat akan permasalahan mereka.

Perkembangan dunia yang begitu cepat memperlebar generation gap tanpa sempat kita sadari. Kadang nasihat yang didengarkan justru bukan yang keluar dari mulut orang tua, malah dari teman sebaya atau orang dewasa yang mereka kagumi, atau malah influencer di media sosial berdasar pengalaman mereka.

Hal yang perlu dilakukan sebagai orang tua, hanya menjadi pendengar saja yang baik, tanpa merasa selalu berkewajiban menasihati atau menceramahi.

Menjadi pendengar ini tak melulu menangkap pesan melalui telinga, tetapi juga mendengar melalui indra kita yang lain, misal lebih sering mengamati perubahan yang terjadi, pada fisiknya, sikap perilakunya, dan kebiasaannya.

Bagaimana?

Beberapa mungkin tampak sulit, dengan permakluman, ‘saya tuh sungguh khawatir sama dia’. Namun, pertimbangkanlah untuk memberi kesempatan mereka bertumbuh dan belajar berperilaku, bertanggung jawab dan berperan sebagai orang dewasa.

Belajar yuk, untuk memberi ruang, sekaligus menjadi rumah untuk mereka pulang.

Slow Living, Slow Down, dan Slow Parenting dalam Kehidupan yang Cepat

Berbagi Virus Kebaikan  

Kisah Perempuan, Drama Korea dan Realita

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta