Menyikapi Terbongkarnya Skandal Mega Korupsi

Pertamina

Kasus mega korupsi terjadi di semua era presiden. Abaikan mereka yang menuding mega korupsi mengaitkan kepemimpinan Jokowi dan Prabowo. Justru sebaliknya, berkat ke dua presiden itu, mega korupsi terbongkar. Skandal BBM di Pertamina merupakan pengulangan skandal pertamina di era Orde Baru yang nyaris membrangkutkan negara.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

TERBONGKARNYA rentetan megakorupsi dengan kerugian negara hingga puluhan triliun – bahkan ratusan triliun – berlakangan bahkan disebut kuadra triliun – merupakan kabar buruk atau kabar baik ?

Hampir semua orang berkomentar kabar buruk. Padahal di sana, sebenarnya, ada kabar baik juga.

Kabar baiknya adalah ada aparat hukum yang berhasil membongkarnya. Gigih menyelidiki mengungkapkannya. Tentulah dengan pengamatan jeli, fokus, kerja keras, mengerahkan tim, dan melewati penyelidikan yang intens. Lengkap dengan hitungan kerugian negara dan menangkap terduga pelakunya, dan menggegerkan masyarakat.

Bayangkan, jika kasus oplosan BBM di Pertamina dan korupsi Asabri dibiarkan. Rakyat selamanya akan tidak tahu.

Bisa saja di antara penegak hukum, seperti polisi, penyidik KPK dan aparat kejaksaan dan PT Pertamina serta Asabri, misalnya, ada kong kalikong, tahu sama tahu, dan bagi hasil. “Baiklah kita garong bareng bareng duit negara ini!” begitu kira-kira, persengkongkolan di antara mereka; para pelaku korupsi dan oknum penegak hukum. Sungguh itu sangat berbahaya.

Masalahnya adalah semangat menggelora dari aparat penegak hukum yang satu tidak didukung oleh yang lain. Jajaran kepolisian, penyidik KPK dan kejaksaan agung berhasil membongkar skandal korupsi. Tapi tidak ditindak lanjuti dengan semangat yang sama oleh penegak hukum yang lain. Pengadilan masuk angin.

Hakim yang mengadili, baik di PN, Kasasi bahkan hingga MK – menerima suap. Atau Kejaksaan sengaja menggunakan pasal pasal yang lemah, setelah ada kesapakatan bagi hasil uang korupsi, sehingga sangkaan mudah digugurkan oleh hakim. Selain juga lantaran jaksa penuntut kurang cakap, kurang profesional dalam mengajukan tuntutan.

Itu bukan rekaan dan kira kira. Melainkan pantauan dari rentetan kasus yang telah terekspos di media, sejak lama dengan contoh aktual kasus di jajaran penegak hukum kita. Bahwa pengadilan sering mementahkan tuduhan seram, dan gagal menghukum pelaku kejahatan berat. Karena para terdakwa piawai mengerahkan orang-orangnya, mengirim pengacara handal, kasak kusuk, main dengan panitera, menggoda hakim, hingga vonisnya ringan. Bahkan lepas dari jerat hukum.

KORUPSI Pertamina dengan kerugian negara diperkirakan Rp Rp 968,5 triliun, merupakan mega korupsi yang paling gila dan memecahkan rekor korupsi di negeri kita sejak dimerdekakan. Kejaksaan Agung (Kejagung) yang awalnya menyebut kerugian negara Rp 193,7 triliun pada 2023, setelah dirunut sejak 2018, kerugian tersebut melesat hingga Rp 1 kuadriliun. Namun, perhitungan ini masih butuh analisis lebih lanjut.

Mega Korupsi di PT Pertamina yang sedang viral di akhir Februari 2025 ini, mengulang sejarah skandal Pertamina di awal Orde Baru, di era Presiden Suharto, dimana Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utamanya, nyaris membangkrutkan negeri dengan dimana Pertamina terbelit utang jangka pendek sebesar 10,5 miliar dolar Amerika Serikat, jumlah yang cukup luar biasa di pertengahan 1970-an.

Kasus mega korupsi terjadi di semua era presiden. Abaikan mereka yang menuding mega korupsi mengaitkan kepemimpinan Jokowi dan Prabowo. Justru sebaliknya, berkat ke dua presiden itu, mega korupsi terbongkar.

NEGERI kita, Republik Indonesia (RI) masih belia – baru beberapa tahun di merdekakan – ketika Bung Karno membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan), dengan peraturan presiden no.1 tahun 1959, yang diketuai oleh Sri Sultan HB IX yang dikenal sebagai tokoh bersih. Kedudukan Bapekan setara dengan menteri.

Selain Bapekan, Presiden Sukarno juga membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara yang (Paran) dipimpin AH Nasution ditahun 1957. Lewat Operasi Budhi berhasil membongkar skandal yang merugikan negara hingga Rp.14 juta yang dilakukan oleh Perwira TNI AL bernama Kol. Pringadi.

BERIKUT saya mengutip pantauan Kompas.com, terdapat setidaknya 11 kasus megakorupsi di Indonesia yang dapat masuk dalam “Liga Korupsi Indonesia” – dengan pemeringkatan berdasarkan nilai kerugian negara yang diakibatkannya.

Di bawah skandal BBM oplosan di Pertamina, di peringat dua ada kasus korupsi PT Timah yang merugikan negara Rp 300 triliun. Kasus korupsi tata niaga timah ada di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 ini awalnya menyebabkan dampak kerugian lingkungan Rp 271 triliun. Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat total kerugian negara mencapai Rp 300 triliun.

Mega korupsi besar ke 3 yang merugikan negara dan rakyat adalah kasus BLBI dengan kerugikan Rp 138 triliun. Peristiwanya terjadi di era Orde Baru, pada masa krisis moneter 1997 dimana negara melalu Bank Indonesia (BI) memberikan bantuan likuiditas untuk menyelamatkan 48 bank dengan suntikan dana Rp 147,7 triliun.

Namun dana itu tidak dikembalikan sehingga merugikan negara Rp 138,44 triliun. Penagihan yang dilakukan Satgas BLBI pada 2021, hasilnya belum jelas.

Berikutnya, penyerobotan lahan PT Duta Palma Group yang merugikan negara Rp 78 triliun, dimana Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma Group, menyerobot lahan 37 hektar di Riau dibantu mantan Bupati Indragiri Hulu, R Thamsir Rachman.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis 15 tahun penjara ke Surya Darmadi, dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 78 triliun.

Lihat saja, negara dirugikan Rp78 triliun, tapi pelakunya hanya didenda Rp.1 miliar.

Ada lagi kasus PT TPPI yang berkaitan dengan pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur pada 2009-2011 yang melibatkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 37,8 triliun, dengan beberapa pihak yang terlibat telah divonis. Sementara mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno, masih berstatus buron.

Korupsi PT Asabri dengan kerugian Rp 22,7 triliun menduduki posisi ke-6 versi Kompas.

PT Asabri melakukan manipulasi transaksi saham dan reksadana bersama pihak swasta, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 22,7 triliun. Kasus melibatkan dana milik prajurit TNI, Polri, dan ASN yang diinvestasikan dalam saham dan reksa dana bermasalah. Tujuh orang divonis bersalah dalam kasus ini.

Kemudian kasus PT Jiwasraya (Rp 16,8 triliun) di urutan ke-7, dimana PT Asuransi Jiwasraya (Persero) gagal membayar polis nasabah. Negara pun rugi Rp 16,8 triliun dan enam orang telah divonis bersalah.

Pada 2021-2022, terjadi korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan serta beberapa pengusaha besar.

Tersangka diduga memberikan izin ekspor CPO ilegal saat ada kebijakan larangan ekspor. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 12 triliun.

Pada 2011 lalu, pengadaan pesawat Garuda Indonesia juga dikorupsi dengan kerugian negara Rp 9,37 triliun. Pengadaan pesawat CSJ-1000 dan ATR 72-600 pada 2011 digelembungkan harganya (mark-up) serta pengadaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan operasional. Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia, menjadi terdakwa. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 9,37 triliun.

Dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (kominfo) terjadi korupsi Proyek Base Transceiver station (BTS) 4G dalam program Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo pada 2020-2022 mengalami penyimpangan berupa mark-up harga dan pengadaan yang tidak sesuai spesifikasi. Menteri Kominfo yang juga Sekjen Partai Nasional Demokrat, Johnny Gerard Plate, menjadi tersangka dengan total kerugian negara mencapai Rp 8 triliun.

Pada zaman SBY menjabat (2004-2014) terbongkar korupsi Bank Century yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 7 triliun. Kasus korupsi Bank Century berkaitan dengan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebagai dana talangan untuk menyelamatkan sistem keuangan. Fasilitas itu justru merugikan negara Rp 689,39 miliar. Kasus ini juga berkaitan kebijakan penetapan Bank Century sebagai bank yang berdampak sistemik sehingga menyebabkan kerugian tambahan Rp 6,74 triliun.

TIDAK ada keraguan sedikit pun pada kemampuan aparat penegak hukum kita dalam mengusut kasus, membongkar, dan menangkap para pelaku kejahatan besar. Mega korupsi. Teroris yang menyamar, tak dikenali wajahnya dan bersembunyi saja, bisa dideteksi keberadaannya oleh Densus 88 dan berhasil dibekuk. Apalagi penjahat berdasi di kantor kantor dan BUMN.

Selain itu, semesta juga telah memberi petunjuk pada penegak hukum dan pakar kriminologi yang seiring berjalannya waktu berkembang sebagai keyakinan bersama, bahwa “tidak ada kejahatan yang sempurna”. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.