Foto : Andrea Candraja/Pixabay
Setiap pribadi terlahir dalam konteks keluarga, adat budaya, lingkungan sosial, suku bangsa, dan alam lingkungan. Tidak ada yang usul untuk terlahir, kapan dan dimana.
Lalu, dalam dinamika perkembangan zaman, sambil tumbuh kembang menghadapi perkembangan baru, kita pun tak bisa mencuci diri dari asal usul kelahiran, sejarah hubungan darah dengan orang tua, leluhur, komunitas ada budaya.
Merangkul relasi historik itu dalam pribadi, ikuti proses perubahan zaman, belajar mengetahuinya dan berjuang menyadari fakta tersebut, saya tuliskan dalam sajak:
Berkanjang ke Kampung Leluhur
Menyusuri jalan kota kecilku
bermotor menuju kampung leluhur
Kutemui riuh gemuruh kendaraan
sibuk berpacu melindas peluang
mengejar aneka damba pemiliknya
Bermacam ragam peran dimainkan
aneka profesi dilakukan
Di bawah debu dan terik
yang penting kebutuhan diraih
karena tak bisa ditunda
Keadaan sudah sangat berbeda
dengan belasan tahun lalu
ketika aku pergi merantau
Lewati pesisir pantai
yang dahulu lengang sepi
saat ini penuh rumah
ada banyak kios jualan
kebun ladang sudah hilang
Lahir pemukiman dan bangunan
wajah pembangunan modernisasi
Dan
pantai sepi zaman lalu
sudah dipagari baris batu
ada restoran dan kafe
aktifitas seperti di kota
Oleh pelaku lintas budaya
karena kemudahan transportasi
karena peluang komunikasi digital
karena perkembangan teknologi
Sekat tradisi digeser modernisasi
Prinsip nilai cara berinkarnasi
demi kehidupan penuh kompetisi
Menanjak ke kampung leluhur
Jauh di kaki pegunungan
ternyata juga banyak berubah
Listrik sudah masuk kampung
Jalan setapak sudah dirabat
Sepanjang jalan ada rumah
bangunan asli kini menjelma
Tempat sakral juga merana
Batu ritual seperti gersang
Generasi tua diam sunyi
yang muda sibuk gadget
Dan
saat disapa bahasa lokal
mereka menjawab dialek gaul
dan karena tak kenal
maka dibiarkan lewat saja
Padahal mereka anak cucu
yang terlahir zaman now
dan belum saling mengenal
sebagai keluarga dan kerabat
Kampung leluhur berubah wajah
mungkin juga nilai makna
karena tergilas roda zaman
Arus iptek merasuk pribadi
menjadi nafas dan darah
mengubah kehidupan tiap insani
yang belum tentu disadari
dan mampu cerdas dihadapi
Beberapa hari di kampung
sungguh terasa asing sendiri
Belajar meraih puing memori
Berjuang membuka lembar nostalgia
Mencoba merajut energi persaudaraan
Setelah tinggalkan belasan tahun
karena berkelana ke metropolitan
mencari ilmu dan ketrampilan
demi mengukir masa depan
demi menoreh kemandirian hidup
dalam gelombang arus zaman
Yang terus mengalir deras
Yang bergelora laksana tsunami
Yang berubah dan mengubah
segala sejarah masa lalu
dengan energi teknologi digital
laksana samudera maha luas
Batas ruang dan waktu
menjadi semakin kabur sirna
manusia terus diubah zaman
Berjuang mengubah diri pribadi
agar kehidupan bisa bermakna
Masa lalu diwarnai tradisi
Hari ini dibalut sinar teknologi
Besok dengan damba mimpi
Dan
energi perubahan zaman ini
tak banyak bisa diprediksi
Hidup pribadi bisa tergusur
Jika keberanian pribadi lumpuh
Jika mata nurani kabur
Jika lumbung jiwa kosong
Jika dahaga selera getir
Jika lapar hati terhimpit
Jika nalar lunglai terkapar
Apalagi….
pribadi hanya diam pasrah
tanpa kreasi dan inovasi
Melukis makna menulis arti
pada lembar kanvas waktu
dengan karya amal bhakti
karena tuntunan cahaya Ilahi
Khasanah sakral kampung leluhur
kini sedang dilanda transisi
jadi puing-puing memori
dihalau lampu warna-warni