Refleksi oleh Belinda Gunawan
Hari Rabu lalu rekan saya Retno Murti membacakan salah satu cerpen saya dalam acara Story Telling di Instagram. Kisah itu menyangkut tiga generasi: ibu mertua, menantu, dan cucu yang hubungannya selama belasan tahun tidak harmonis. Setelah selesai membaca dia bertanya pada saya, dari mana inspirasi cerpen itu saya peroleh.
Saya menjawab, “Saya selalu suka cerita tiga generasi.” Setelah acara usai saya berpikir, itu bukan jawaban tepat meskipun tidak terlalu menyimpang. Hanya saja, saat itu yang ada dalam benak saya bukan cerita itu melainkan proyek baru saya, yaitu menerbitkan buku antologi cerpen bertema “Generasi Sandwich”.
Generasi Sandwich, yang disebut juga generasi roti lapis, belakangan ini lumayan populer. Topik ini beberapa kali diangkat sebagai acara bincang-bincang di televisi, dan banyak pula saya temui di Google sebagai informasi dan bahasan. Di dalam masyarakat di semua belahan dunia memang hampir selalu ada tiga generasi dalam keluarga, yang untuk mudahnya saya sebut generasi (1) Kakek Nenek, (2) Ayah Ibu, dan (3) Anak-anak.
Karena generasi 1 pada umumnya sudah tidak produktif, dan generasi 3 masih di bawah umur, maka generasi 2 menjadi generasi yang terjepit di tengah. Mereka adalah pihak yang diharapkan melihat “ke atas” sebagai bentuk bakti dan tentu saja “ke bawah” yang merupakan tanggungjawab mereka sebagai orangtua.
Ketika mencari informasi tentang topik ini, karena sayalah yang memilihnya untuk jadi tema buku, saya terpaku juga membaca salah satu post yang judulnya, kira-kira: “Cara Tepat Memutus Mata Rantai Nasib sebagai Generasi Sandwich yang Terjepit.”
Hah? Memutus? Nurani saya sebagai anggota generasi “Kakek Nenek” tersengat. Enak saja mau diputus. Memangnya kamu, hai generasi kedua, bukan anak yang saya lahirkan, rawat, didik, sekolahkan hingga mandiri dan berhasil? Sekarang setelah kamu beranak-pinak, mau kamu putus mata rantai itu?
Setelah saya baca tulisan tersebut, ternyata judul “click bait” itu tidak salah-salah amat sih, sebab penulis menyorotnya dari segi keuangan. Ia malah memberi saran berharga kepada para “sandwich” untuk menghemat, menabung, mengelola keuangan dengan bijak, berinvestasi. Bahkan ia memberi perkiraan, berapa dana yang sudah harus ada padanya ketika pensiun nanti, supaya tidak sampai membebani anak-anak mereka sebagai generasi yang terjepit.
Memang, buntut-buntutnya penulis yang rupanya menulis untuk sebuah perusahaan asuransi, memberi jalan keluar dengan memperkenalkan produk perusahaan asuransi tersebut. Sesuai topik yang dibahas ia menekankan berapa pentingnya para “Sandwich” itu menjadi nasabah produk asuransi yang mendukung, antara lain Asuransi Kesehatan dan Asuransi Jiwa.
Which is good. Tapi sesungguhnya, di luar masalah keuangan (dan untunglah tidak semua generasi Kakek Nenek bergantung secara materi kepada keturunannya), masih ada mata rantai lain yang harus dijaga dan dirawat yaitu waktu, perhatian, dan kasih sayang. Hal ini terutama penting bila menyangkut masalah kesehatan, baik kesehatan fisik maupun jiwa. Bisa jadi si Kakek Nenek, seiring dengan usia dan menurunnya kesehatan, membutuhkan pendampingan anaknya dalam menemani berkonsultasi ke dokter, memeriksakan diri di lab, juga menunggui di rumah sakit di kala mereka terpaksa dirawat.
Uang, waktu, perhatian, kasih, mana yang paling dibutuhkan generasi Kakek Nenek? Semuanya. Betapa malang dan sendiriannya seorang lansia, yang katakanlah, hanya diberi uang untuk melanjutkan kehidupannya sampai “dipanggil pulang”.
Jadi boleh dikatakan, kewajiban generasi sandwich berat. Dengan pengertian orangtua mereka (yang sering harus mengalah pada kepentingan cucu), dengan berbekal kasih dan komunikasi, dengan tidak “memutus” mata rantai, niscaya kewajiban itu bisa dijalani dengan hati ringan. Salah satu syaratnya adalah: tidak menganggapnya sebagai beban melainkan ungkapan kasih. (BG)
Photo by Mae Mu on Unsplash