Mereka yang Hidup di Negeri Angan angan yang Dibangunnya Sendiri

Wakanda Black Panther

Betulkah Konoha dan Wakanda jadi cara banyak netizen untuk menyampaikan kritik? Jangan-jangan mereka memang sedang hidup di negara Konoha atau Wakanda yang dibangunnya sendiri

Oleh SYAH SABUR

BAKAL calon presiden (bacapres) 2024 Anies Baswedan mengatakan, kondisi demokrasi Indonesia saat ini tidak sehat. “Kita menyaksikan kalau di sosial media banyak sekali yang mau tulis (mengkritik pemerintah) itu nyebutnya Konoha atau Wakanda. Apa artinya? Ini menunjukkan ada self censorship,” kata Anies dalam acara Kuliah Kebangsaan FISIP UI di Depok, Selasa (29/8/2023). Sebagai catatan, Konoha adalah nama desa rekaan dalam kisah animasi Naruto, sedangkan Wakanda adalah negara karangan dalam film Black Panther.

Anies menilai, nama-nama itu digunakan netizen sebagai kata ganti Indonesia karena adanya ketakutan dalam mengkritik pemerintah. Menurut bacapres dari Koalisis Perubahan dan Persatuan itu, hal tersebut merupakan tanda bahwa demokrasi tidak sehat.

Soal demokrasi tidak sehat, hal itu bisa menjadi perdebatan panjang. Tapi betulkah saat ini masyarakat takut untuk menyampaikan kritik?

Tahun 2023 The Economist mencatat, indeks demokrasi Indonesia mencapai angka 6,71 (peringkat 54 dari 167 negara). Selanjutnya Dem Institute di tahun yang sama mengatakan, indeks demokrasi Indonesia berada di angka 0,574 (peringkat 78 dari 179 negara). Sedangkan indeks demokrasi versi Universitas Wurzburg adalah 0,587 (77 dari 176 negara). Terakhir, indeks demokrasi Freedom House adalah 59 (109 dari 210 negara) dan Reporters Without Borders mencata indeks 54,83 (108 dari 180 negara).

Berbagai angka tersebut menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia memang masih memerlukan perbaikan. Jika dibandingkan banyak negara lain, angkanya masih lumayan.

Sebaliknya, survei Litbang Kompas periode 27 Juli-7 Agustus 2023 mencatat soal negara yang menjamin bebas berpendapat warga Indonesia. Menurut Kompas, sebanyak 75,4% menyatakan puas, yang tidak puas 18,2%, dan 6,4% tidak menjawab.

Kompas juga menemukan fakta bahwa negara membuka kesempatan warga untuk mengawasi pemerintahan. Sebanyak 68,9% puas, 14,2% tidak puas, dan 9,7% tidak menjawab.

Hasil Litbang Kompas membuktikan, secara umum masyarakat Indonesia merasa puas dengan tingkat demokrasi. Data Kompas juga menunjukkan tidak ada ketakutan yang berlebihan di masyarakat untuk menyampaikan kritik.

Anies sendiri  tidak menyebut berapa banyak warga yang memakai istilah Konoha dan Wakanda saat menyampaikan kritik. Tapi sejauh yang bisa diamati, istilah tersebut tidak terlalu banyak muncul di media sosial. Sebaliknya, banyak anggota masyarakat yang menyampaikan kritik secara terbuka, bahkan sebagian di antaranya memakai istilah yang sangat tajam dan cenderung kasar.

Pakar hukum Refly Harun misalnya menyebut Jokowi tidak mampu mengelola negara. Beberapa pekan lalu, pengamat politik Rocky Gerung misalnya menyebut Presiden Jokowi sebagai “bajingan tolol”, tanpa disertai data kuantitatif atas kritiknya.

Kritik yang disampaikan pengamat ekonomi Faisal Basri juga tak kurang tajam saat mengkritisi Jokowi soal kebijakan hilirisasi pertambangan. Dosen Fakultas Ekonomi UI itu menyebutnya kebijakan yang “bodoh” dan “tolol”.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo mengecam keras beberapa kebijakan pemerintah di bidang pembangunan infrastruktur. Kebijakan tentang bandara Kertajati, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dan proyek Ibu Kota Negara (IKN) disebutnya kebijakan yang ngawur.

Kecaman yang teramat pedas juga disampaikan budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Cak Nun bahkan sempat menyebut Jokowi sebagai Firaun.

Netizen juga kerap menyampaikn kritik dengan kata-kata yang sangat pedas. Selain itu, masyarakat pun berkali-kali menggelar demo di sekitar Istana tanpa hambatan yang berarti.

Menghadapi berbagai kritik tajam tersebut, pemerintah maupun Jokowi tidak pernah mempermasalahkannya atau membawanya ke meja hijau. Jokowi pun menganggap kecaman RG sebagai hal kecil karena sudah terbiasa menerima kritik. Untuk kritik pedas Faisal, Jokowi hanya menanggapinya dengan menyampaikan klarifikasi. Bahkan beberapa pekan lalu Jokowi menjenguk Cak Nun yang sedang dirawat di rumah sakit.

Selain itu, media massa juga sejauh ini aman-aman saja. Tidak ada media yang ditelepon untuk tidak memberitakan sesuatu misalnya. Tidak ada juga media yang dibredel akibat mengungkap suatu kasus seperti di era Soeharto.

Memang ada dua-tiga kritik yang berujung penjara. Tahun 2020 Kapten (Purn) Ruslan Buton dihukum 7 bulan dengan pasal Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ITE karena membuat video terbuka dan menyebarkannya ke publik yang isinya meminta Jokowi mundur dari jabatan Presiden.

Selain itu, tahun 2021, aktivis Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) divonis 10 bulan penjara. Melalui akun Twitternya, Jumhur dianggap menyebarkan hoax dengan menyebut RUU Cipta Kerja diterbitkan untuk primitive investor dan pengusaha rakus.

Di tahun yang sama, ustazah Kingkin Anida divonis 6 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Kota, Selasa (30/3/2021). Kingkin dihukum karena terbukti menyebarkan hoax tentang omnibus law.

Tentang UU ITE yang disebut Anies menjadi penyebab mampatnya kritik, hal itu juga bisa diperdebatkan. Sebab, pada 2021 Jokowi mendorong revisi UU ITE.

Jokowi juga meminta Kapolri untuk melakukan pendekatan persuasif dan restorative justice untuk kasus hukum yang berkaitan dengan UU ITE. Saat ini DPR sedang membahas revisi UU ITE.

Dengan adanya berbagai fakta tersebut, betulkah Konoha dan Wakanda jadi cara banyak Netizen untuk menyampaikan kritik? Jangan-jangan Anies memang sedang hidup di negara Konoha atau Wakanda yang dibangunnya sendiri. (end)

Avatar photo

About Syah Sabur

Penulis, Editor, Penulis Terbaik Halaman 1 Suara Pembaruan (1997), Penulis Terbaik Lomba Kritik Film Jakart media Syndication (1995), Penulis berbagai Buku dan Biografi