Foto Instagram @jokowi.iriana
Oleh HARRY TJAHJONO
Sejak menjabat Walikota Solo, utamanya sejak terpilih jadi Presiden Republik Indonesia, lawan politik Jokowi tak kunjung berhenti merundung kepemimpinannya. Kritik, kebencian, provokasi, demontrasi bahkan fitnah berkelindan secara permanen diorkestrasi oleh mereka yang kalah Pilpres—mereka yang lantang memuliakan demokrasi tapi secara memalukan menampik keterpilihan Jokowi secara demokratis.
Tentu bisa dimaklumi jika elite politik yang berlabel oposisi, yang sejak lahir sudah jadi bangsawan dan juragan, menjadi sewot dipermalukan oleh kemenangan Jokowi yang rakyat biasa, anak tukang kayu. Mereka terus-menerus menolak kenyataan sejarah.
Sampai sekarang ini, anehnya, para elite politik dalam barisan oposisi itu tak putus akal untuk menjatuhkan Jokowi dengan pelbagai siasat. Menarasikan demontrasi Jokowi End Game, misalnya. Mereka menyebutnya gerakan perjuangan yang akan memicu kerusuhan sosial, kemudian terjadi chaos yang melahirkan epos kepahlawanan dan tentu saja kemenangan.
Tapi, mereka juga lupa bahwa sejarah berikut perjuangan dan kepahlawanan adalah milik sang pemenang.
Kepahlawanan Etos Solidaritas Sosial
Mereka yang menolak kenyataan sejarah, hemat saya, seringkali hanya karena mabuk ilusi menciptakan sejarahnya sendiri. Atau barangkali karena tidak terlalu suka menengok epos kepahlawanan yang pernah terjadi.
Kepahlawanan Arthur Wellesley (1769-1852), misalnya, tergambar dari perjuangannya yang dengan gagah berani memenangi sejumlah peperangan besar, antara lain di Peninsular, Waterloo, Mysore dan penaklukan Mahrattas di Assaye, hingga menjadi Perdana Menteri Inggris 1828-1830 dengan gelar 1st Duke of Wellington.
Tapi, wajah kepahlawanan Duke yang tertulis di kitab sejarah, juga disempurnakan cerita rakyat yang ditularkan dari mulut ke mulut. Syahdan di masa tuanya, Duke rutin menggelar pesta tahunan untuk merayakan hidupnya. Tamu yang diundang bukan hanya dari kalangan politisi, pejabat dan pengusaha, melainkan juga prajurit veteran yang dulu ikut berperang bersamanya.
PADA suatu pesta tahunan, seusai makan prasmanan yang mewah dan lezat, Duke tidak menemukan kotak tembakau miliknya. Padahal, kotak tembakau dari emas itu berhiaskan sejumlah berlian. Dalam sekejap, tamu-tamu undangan menjadi gaduh dan ikut sibuk mencari, sampai akhirnya anak Duke mengusulkan agar para tamu bersedia mengeluarkan isi kantong celana dan saku jas mereka.
Tapi, tiba-tiba seorang opsir tua, veteran yang memakai jas usang dan kedua sakunya tampak menggembung, menyatakan tidak setuju dengan usul anak Duke. Sontak semua mata memandang curiga padanya. Anak Duke dan sejumlah tamu bertanya kenapa opsir tua itu tidak setuju? Tapi, sebelum dijawab, Duke justru menyatakan bahwa ia sependapat dengan opsir tua dan tidak setuju dengan usul anaknya. Maka pestapun berlanjut. Namun, opsir tua itu memilih pamit dengan alasan lelah, meski sesungguhnya karena terusir oleh pandangan curiga para tamu yang tak pernah lepas dari dirinya.
ESOKNYA, Duke menemukan kotak tembakau itu di saku jasnya yang tergantung di almari. Maka Duke mendatangi rumah opsir tua yang berada di kampung orang miskin. Selain mengatakan kotak tembakaunya tidak hilang, Duke minta maaf dan berterima kasih karena opsir tua itu telah membuat para tamu tidak harus menjadi tertuduh. Duke juga bertanya, kalau tidak mengambilnya kenapa ia menolak usul anaknya?
Opsir tua itu menunduk, menjawab lirih, “Karena di kantong saya ada beberapa potong daging yang saya ambil dari meja prasmanan, untuk tetangga saya yang sakit dan lapar.”
Duke tertegun, berlinangan air mata. Wajah kepahlawanannya yang gemilang dan heroik pun merunduk di depan kiblat kemanusiaan. Ia merasa perih karena dipertemukan dengan etos solidaritas sosial yang terusir dari pesta kemenangan, yang terpuruk di keseharian orang-orang miskin, di perut-perut lapar sependeritaan dan di ketulusan yang tersimpan di lumbung harapan.
Kepahlawanan Gelandangan Politik
Demonstrasi Jokowi End Game atau entah apapun namanya, adalah perwujudan hak menyatakan pendapat yang dijamin undang-undang dan merupakan pilar utama demokrasi. Tak seorangpun dan bahkan pemerintah, dapat melarang atau membungkam hak kebebasan menyatakan pendapat.
Tapi, ketika hak kebebasan menyatakan pendapat yang absolut itu dilaksanakan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran di tengah pandemi Covid-19, mereka akan menabrak etos solidaritas sosial. Maka perjuangan politik atau entah apapun namanya itu, hanyalah teror busuk yang mengingkari kiblat kemanusiaan. Dan kepahlawanan kaum elite yang menungganginya hanya akan membusuk dikutuk zaman menjadi gelandangan politik.
Saya ingin mengutip sebuah anekdot yang terjadi hampir 300 tahun silam. Ketika Mirabeau, negarawan dan tokoh Revolusi Perancis, meninggal dunia, 2 April 1791, selama beberapa minggu rakyat Perancis diliputi duka yang mendalam. Suatu saat seorang pelayan restoran Palais Royal menyapa pelanggannya dengan sopan, “Hari yang cerah, Tuan…”
“Ya, hari yang indah, sangat menyenangkan. Tapi sayang, Mirabeau sudah meninggal…,” jawab pelanggannya.
Saya suka anekdot ini, yang dengan ringan dan bersahaja melukiskan duka cita dan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya. Cerita yang tidak mengultus-individukan pemimpin, tidak menyanjung puji sang negarawan, tidak histeris menangisi kepergian pahlawannya, tapi tidak pula mencaci maki, meremehkan dan apa lagi menghina.
Anekdot sederhana yang mampu menjelaskan hubungan antarmanusia sebagaimana mestinya–rasa hormat pada kematiannya setara dengan penghargaan pada kehidupannya.
Di Indonesia, hemat saya, kelak ada sebuah cerita sederhana yang dikisahkan dari mulut ke mulut rakyat. Cerita tentang seorang presiden yang setia menemani rakyatnya. Setia menemani. Camkan itu. Menemani!*