Minum bir membuat kita nyenyak tidur dan mencegah berbuat dosa, kata Martin Luther.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO.
Di tengah sekapan virus Covid-19, yang membuat tak leluasa mengadakan perjalanan, saya merindukan bir. Tragisnya, saya juga merindukan bir Corona. Nama yang sedang jadi momok menakutkan di seantero dunia.
Dulu saya kerap minum bir . Dua tiga kali seminggu nongkrong di di Hard Rock Cafe Sarinah, Jakarta. Atau di Tanamur – jl. Tanah Abang Timur. Atau di cafe mana saja..
Tak ada yang seindah masa itu. Club ramai, pengunjung penuh sesak, cahaya temaram, musik berdentam, kilat lampu disko berpendar pendar, gadis gadis cantik, berpakaian mini – sebagiannya model dan artis artis baru, berjingkrakan kemudian menggelendot manja. Dan berbotol botol bir dan gelas minuman lainnya terjajar dan saling berdenting di meja. Ada Taquila, Singapore Sling, Chivas Regal dan bier Corona.
Pada dasarnya saya minum bier apa aja. Tapi Corona selalu disodorkan di meja bar di Hard Rock Cafe ketika saya datang. Dan saya malas membahasnya. Melihat botolnya, cairan keemasan di dalamnya, dengan tetes air bekas rendaman di lemari es – langsung membangkitkan air liur. Lalu glek glek. Kepala langsung terbang. Melayang. Obrolan dengan teman jadi enak.
Di Honolulu – Hawaii, awal 1990an, ketika pertama ngayap di club, usai mengikuti workshop seni, saya langsung minta bir. “What kind of beer?” tanya waiternya. Saya jawab, “Anything, eh, any beer”
Saya baru “ngeh” di sana pilihan bier banyak sekali. Tidak seperti di sini. Enak juga.
Sebelum itu, saya hanya mengenal dua jenis bir, yaitu “bir yang enak” dan “bir yang enak sekali”. Tentu saja dua duanya harus dingin.
“Bir pertama haruslah sangat dingin sehingga anda tidak dapat merasakannya. Bir yang kedua haruslah sedikit lebih hangat, namun saya ingin bir pertama terasa seperti es. Saya ingin bir tersebut sangat dingin sehingga saya tertusuk merasa sakit, ” begitu penulis Jepang Haruki Murakami menuturkannya dalam ‘The Wind-Up Bird Chronicle’
“Segelas bir dingin pada akhir hari adalah hal terbaik yang dapat ditawarkan hidup. Beberapa orang pemilih berkata bahwa bir yang terlalu dingin terasa tidak enak, tapi saya tidak setuju” kata Murakami.
Bagi bukan penikmatnya, bir itu terasa pahit – ya. Memang betul. Tapi ketahuilah, hidup dan kehidupan ini kadang jauh lebih pahit.
Saya terkenang artis film 1990an, Zoraya Perucha dan Fajar Budiman rekan sesama wartawan (dari tabloid “Mutiara”) yang kini telah tiada. Saat pembukaan klub “Voila” di gedung Patrajasa Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Perucha memanggil saya naik panggung bareng Fajar Budiman (alm). Lalu kami diminta adu cepat menghabiskan masing masing satu pitcher bir dingin. Dingin sekali. Dan saya kalah.
PENIKMAT bir bukan kriminal. Selain wartawan, seperti saya – yang tidak pernah berbuat kriminal – kecuali melanggar lalu lintas dan mengabaikan perintah Tuhan, peminum bir adalah pecinta damai .
Mereka yang saya kenal suka minum bir adalah aktor, musisi, penulis, pembuat film, dramawan, komedian, filsuf, tokoh sejarah, negarawan, bahkan presiden dan raja. Di kantor, boss dan pengendali perusahaan tempat saya bekerja peminum tetap bier. Tiap hari. Rajin shalat dan rajin ngebir juga. Sudah haji. Sudah almarhum.
Tokoh-tokoh masyhur yang selalu dipuja seperti Shakespeare, Plato, Winston Churchill, Martin Luther, Sid Vicious, punya hubungan yang istimewa dengan bier.
“Pada dasarnya pria itu sederhana. Mereka dapat bertahan sepanjang akhir pekan hanya dengan tiga hal: bir, celana pendek dan baterai untuk kendali jarak jauh, ” kata komedian cantik Amerika Diana Jordan.
Dan itu benar. Gue banget
“Bir itu minuman yang sedikit proteinnya.. Karena itu, minumnya harus banyak banyak… ” seorang teman berseloroh di bar.
“Tanpa perlu diragukan, penemuan terbaik dalam sejarah manusia adalah bir. ” kata penulis Amerika Dave Berry. “Hmm..roda pun penemuan yang hebat, tapi sayangnya tidak seperti bir yang dapat disandingkan dengan sepiring pizza” jelasnya .
Pernyataan yang paling saya sukai tentang bier diungkapkan oleh Martin Luther, pencetus Reformasi Protestan.
Begini, katanya :
“Siapa pun yang minum bir, mereka akan tertidur pulas dan panjang. Siapa pun yang tertidur panjang, tidak berbuat dosa. Siapa pun yang tidak berbuat dosa, akan masuk surga. Jadi biarkanlah kami meminum bir.”
Saya melewati masa masa suka minum bir. Dan saya berharap bisa masuk surga. — sekiranya surga itu benar benar ada dan saya boleh ke sana..
Saya sedang terperangkap di kamar, rebahan dan melamun. Saya merindukan bir. ***