Seide.id – Bertapa itu konotasinya keren. Terbayang: lelaki paruh baya, gondrong, berjanggut, sorot matanya meneduhkan dan arif bijaksana.
Maaf, tapi itu zaman baheula. Apa ada pertapa di zaman milenial ini?
Jangan apriori. Pertapa yang olah batin itu senang mengasingkan diri di tempat sunyi terpencil, gua, atau hutan, kendati tidak banyak, tapi masih bisa ditemui.
Berbeda dengan pertapa zaman milenial yang mudah ditemui dalam komunitas. Mereka lebih dikenal sebagai rahib yang pendoa.
Bertapa itu tidak melulu di tempat sunyi, gua, atau hutan. Bahkan tantangan di zaman milenial ini, bisa dilakukan di pusat keramaian yang super sibuk. Lho, emang bisa?!
Ya, bisa! Itulah tantangan yang sesungguhnya. Di tempat yang jauh dari keramaian, terpencil, dan sepi itu merupakan hal biasa dan tidak menarik!
Caranya? Makanya jangan sinisme dulu. Apalagi lalu meremehkan dan memandang sebelah mata pada orang lain.
Sesungguhnya, gedung-gedung pencakar langit itu diibaratkan hutan beton, kendaraan bermotor ibarat binatang buas, dan manusia yang saling memangsa itu seperti raungan nyanyian yang gegap gempita.
Bahkan banyak orang yang merasa terhormat, melakukan olah batin ‘bertapa’ dengan memboloskan diri dari komunitasnya. Kalaupun hadir untuk rapat atau dengar pendapat itu tidak lebih banyak berdiam diri, main gadget atau tidur; yang penting dapat amplop.
Siapa pun bisa menjadi pertapa. Panggilan nurani untuk komitmen, konsisten, dan niat ingsun untuk memurnikan hati mencumbui Yang Ilahi.
Ketika aku memutuskan untuk belajar bertapa mencari sumber keheningan, keluarga mencapku mulai kurang waras. Padahal aku mau meninggalkan kesibukan dalam waktu tertentu. Mengurangi bersosialisasi, nonton tv, bahkan untuk bisnis pun aku mewakilkan kepada orang kepercayaan, tidak menerima telepon, dan bicara juga seperlunya!
Aku ingin mengurangi seabreg aktivitas untuk meningkatkan keheningan jiwa, membuka hati, dan bersilaturahmi dengan Ilahi.
Ketika memulai, waktu bergulir bagai siput, teramat lama dan menyiksa. Di sela kesibukan yang tetap ngantor itu, aku berusaha mencari keheningan dengan berdoa dan membaca buku rohani. Aku menjadi lebih pendiam di depan karyawan. Relasi bisnis yang meneleponku, dijawab oleh orang kepercayaan. Sekiranya ada masalah yang cukup pelik, aku sekadar sumbang saran.
Kebiasaanku yang main gadget, kualihkan dengan merenung bagai penulis profesional sambil mencorat coret di kertas. Kejenuhan yang menyiksa, kualihkan dengan bermeditasi. Intinya, aku pengin berhening diri mencari sumber keheningan.
Kesadaran diri itu memberiku motivasi untuk bersabar, mengalah, dan tidak mudah sakit hati. Aku belajar mengontrol diri untuk berbesar hati agar mudah memaafkan dan berdamai dengan orang lain.
Hal-hal yang menyiksa pikiran kualihkan dengan menahan diri, sabar, tabah, dan rendah hati. Nafsu makan minum dan tidur juga kukurangi. Kuganti dengan hal kerohanian.
Sekali lagi: kesadaran, motivasi & dan semangat untuk berubah itu menjadi orientasi saya untuk mengatasi tantangan dalam segala situasi.
Tidak terasa aku mampu menjalani laku prihatin dalam keheningan hingga 40 hari.
Kesimpulanku:
Aku yang baru belajar mendekatkan diri ke Maha Keheningan, hati ini merasa makin disegarkan dalam kedamaian Ilahi. Apalagi, bagi mereka yang pertapa, rahib, atau bikhu yang hidupnya hanya dikungkung oleh Yang Maha Hening.
Keheningan itu untuk mengosongkan diri agar diisi Yang Ilahi.
Mas Redjo/ Red-Joss