Minyak Goreng Tak Harus Digoreng

Setelah satu atau dua jam dijemur terik matahari, pada bagian dasar loyang seng memang tampak endapan cairan bening kental. Itulah Minyak Kelapa Ragi Yuyu yang segera disaring dan dituang Emak ke wadah bowl perak koleksi Ibu.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

EMAK saya bukan anak sekolahan. Ibu kandungnya Ibu saya itu juga tak bisa baca-tulis cara Latin. Emak cuma belajar ngaji Qur’an di majlis taklim kampung, hingga bisa baca-tulis cara Melayu yang menggunakan aksara Arab-Gundul (Alif-ba-ta Hijahiyah yang ditulis tidak dengan menggunakan tanda baca). Namun begitu Ema sering melakukan kerja yang menurut saya tak kalah hebat dengan tukang insyinyur.

Contohnya, ya…seperti sudah sering saya kisahkan, yakni Emak amat mahir dalam urusan dapur dan pengobatan tradisional, termasuk kebolehannya di bidang pijat-urut, hingga Emak kerap dapat panggilan mijat nyonya gedongan. Dan seperti kisah saya yang lalu, Emak juga ‘ahli’ bikin Minyak Kelentik, minyak goreng dari santan kelapa, yang buatannya juga banyak dipesan orang gedongan.

Hebatnya, Emak tak cuma membuat Minyak Kelapa atau Minyak Kelentik dengan digoreng atau dipanaskan di penggorengan, tapi juga hanya dengan cara menjemur bahan urap kelapa, di bawah terik matahari. Kebolehan Emak ini saya saksikan suatu siang, saat saya dan beberapa teman sebaya pulang dari bermain di pinggir Ciliwung, dan membawa kaleng bekas susu berisi yuyu atau kepiting sungai.

Anak laki-laki Betawi pemberani tempo itu memang biasa mencari yuyu di sawah atau di lubang-lubangnya di pinggiran sungai, buat bermain gerobak yuyu. Caranya, yuyu diberi ikatan karet gelang. Di antara lilitan karet gelang pada yuyu disangkutkan gerobak mini dari kotak korek api atau kotak bungkus rokok dengan roda irisan umbi singkong. Jadilah gerobak bergerak maju dengan kuda atau kerbau berupa yuyu.

Saat asyik bermain gerobak yuyu itu, Emak datang mengampir, meminta beberapa ekor yuyu yang saya punya. “Buat apa, Mak?” tanya saya penasaran. Emak tak menjawab. Beliau cuma senyum-senyum sembari mengusap-usap kepala saya, lalu mengajak saya dan si Endin, teman saya bermain gerobak yuyu, ke belakang rumah dimana Emah sudah menyiapkan sebaskom kelapa parut atau urap kelapa.

Urap kelapa itu ditempatkan Emak di loyang seng datar segiempat panjang, yang biasa digunakan buat manggang Kue Nastar atau Kue Keju Kacang Mete. Tiga ekor Yuyu besar dari saya dimatikan, dan ditumbuk di lumpang batu. Remukan daging Yuyu itu ditabur Emak ke atas urap kelapa yang sudah diatur Emak, rapi dan rata memenuhi permukaan loyang seng, lantas menjemurnya di bawah terik matahari.

Ajaib. Hanya dalam hitungan menit, urap kelapa yang tadinya putih bersih, sedikit demi sedikit berobah warna jadi semu merah atau kemerah-merahan mirip rupa Kue Sengkulun atau Awug-Awug yang biasa dibuat Emak. Belakangan saya tahu bahwa taburan remukan daging yuyu itu berfungsi sebagai ragi alamiah, yang (karena terpanggang terik matahari) membuat urap kelapa menghasilkan minyak.

Setelah satu atau dua jam dijemur terik matahari, pada bagian dasar loyang seng memang tampak endapan cairan bening kental. Itulah Minyak Kelapa Ragi Yuyu yang segera disaring dan dituang Emak ke wadah bowl perak koleksi Ibu, setara Minyak Kelapa atau Minyak Kelentik yang dibuat Emak dengan memanaskannya di penggorengan. Dipikir-pikir, hebat ya, Emak…! ***

31/03/2-22 PK 09:50 WIB

Keterangan Foto:

Nyoook bikin Minyak Kelentik sendiri – Foto Heryus Saputro Samhudi

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.