Motivator dari Koruptor

Juliardi Batubara

Parta koruptor sama sekali tak melihat, bagaimana anak-anak kecil, yang jauh lebih kecil dari anak-anaknya, juga lebih miskin dari anak-anaknya, yang tersebar di seluruh Indonesia? Mereka dikutuk menjadi seterusnya miskin, karena kasus-kasus korupsi para pejabat negara.

Oleh SUNARDIAN WIRODONO

Hari ini, vonis bagi Juliari Batubara bakal dijatuhkan hakim. Entah berapa bulan atau tahun vonis bakal diterima bekas mensos terdakwa korupsi bansos itu.

Senyampang itu, kita membaca berita, KPK akan memakai para terpidana korupsi, bekas koruptor itu, untuk menjadi juru dakwah pencegahan korupsi.

Kita, setidaknya saya, tidak tahu mesti ngomong apa. Tapi sering kita melihat keputusan atau kebijakan pejabat negara, yang menunjukkan keputusasaan atau malesmikir. Atau mungkin suka korupsi juga. Setidaknya korupsi dari nalar sehat.

Dalam pembelaan sebelumnya, Juliari memohon kepada hakim, agar dibebaskan dari jeratan hukum. Alasannya? Bukan saja karena anaknya masih kecil-kecil, tapi karena juga isteri serta kerabatnya yang tak bersalah, harus ikutmenanggung akibat yang tak selayaknya untuk mereka.

Alasan lain, karena nilai uang yang diambilnya, Rp10ribu per paket, tidak merugikan negara. Karena diambilkan dari fee dari para pemegang tender proyek bansos. Itu bisnis biasa, katanya.

Masyak-awoh! Dari kualitas moral Juliari ini, motivasi cem-mana yang bisa diharap, untuk membangun kesadaran mental kita? Apalagi pejabat negara dan pemerintah, untuk tidak korupsi? Ngan-jangan, justeru para calon koruptor akan menjadi lebih canggih, belajar dari kebodohan koruptor sebelumnya.

Alasan soal anak-anaknya yang masih kecil, telat Bung! Napa dulu nggak mikir gitu? Meskipun mungkin juga hal itu terinspirasi oleh potongan hukuman untuk Pinangki. Bekas jaksa yang terlibat kasus Djoko Tjandra itu, dalam keputusan pengadilan mendapat keringanan dengan pertimbangan anak Pinangki masih kecil-kecil.

AlasanJuliari bahwa duit yang dia kutip cuma kecil, dan itu sesuatu yang wajarkatanya, karena dianggap hanya semacam fee-comission dari rekanan proyek. Sungguh biadab. Ahmad Fatonah, yang bukan ASN atau PNS, dengan mengutip Rp5 per-kilogram daging sapi dalam kasus korupsi Presiden PKS, bisa menjadi milyarder. Bagaimana dengan Juliari yang menteri?

Juliari sama sekali tak melihat, bagaimana anak-anak kecil, yang jauh lebih kecil dari anak-anaknya, juga lebih miskin dari anak-anaknya, yang tersebar di seluruh Indonesia? Mereka dikutuk menjadi seterusnya miskin, karena kasus-kasus korupsi para pejabat negara. Justeru karena ia bukan hanya jahat pada rakyat, melainkan juga jahat pada anak dan keluarganya sendiri, yang tidak melakukan tapi menerima dampaknya, mestinya Juliari pantas dihukum seberat-beratnya.

Tapi hukum dan pengadilan di negeri kita ini ‘kan selain unik juga kadang bau busuk. Kemenkumham juga bukan bagian yang meyakinkan bahwa sistem hukum kita baik. Persoalan LP saja, tak pernah bisa dibereskan sebagai bagian dari sumber masalah hukum kita. Berapa kali pola pelanggarannapi terjadi tapi tak pernah ada progres perbaikan?

Celakanya, sistem hukum yang tak jelas posisinya itu, dalam sistem kenegaraan kita, memang menjadi biang kerancuan. Apalagi pemahaman kita mengenai demokrasi trias-politika juga bias. Negara seolah hanya bertumpu pada eksekutif atau Presiden. Sementara pelaku korupsi, bisa datang dari legislatif dan judikatif.

Belum pula, partai politik di Indonesia, seolah negara dalam negara. Apalagi ketika yang menjadi terdakwa korupsi kader partai politik pemenang. Wong soal Harun Masiku saja, hingga kini juga nggak jelas. Bijimana mau mengepakkan sayap kebhinekaan? Diampu nangis-nangis belain Jokowi, yang dibilang kodok, pun tak mudah untuk menegakkan citra partai.

Awasi saja sistem dan mekanismenya. Jalankan hukum dengan tegak. Karena kejahatan terjadi karena situasi-kondisi-toleransi. Jangan disingkat-singkat! | @sunardianwirodono

Avatar photo

About Sunardian Wirodono

Penulis, Pewawancara, Desainer TV Program, Penulsi Naskah, Penulis Lepas, tinggal di Yogyakarata