Refleksi oleh Belinda Gunawan
“Aku ‘kan multitasker,” kata putri saya di telepon. Apakah bangga, karena bisa melakukan banyak hal sekaligus? Ataukah excuse, karena sudah beberapa hari tidak kabar-kabari?
“Aku dong yang multitasker,” saya tidak mau kalah. “Nih aku lagi nonton sambil baca buku, sekarang ditambah nelepon dengan kamu.”
Saya sudah kebiasaan nyambi, sehingga lagi senang-senang pun nyambi. Sambil menonton tivi seperti saat itu, di dekat saya ada HP untuk mencek e-mail, WhatsApp (baik WAG maupun japri), satu-dua buku untuk mengisi jeda iklan. Telepon rumah? Persis di sisi kiri saya. Tablet juga ada untuk komen di FB atau mengintip Instagram cucu yang lagi ikut student exchange di Singapura.
Tapi, apakah saya melakukan multitasking? Menurut pakar sih, bukan. Katanya manusia tidak bisa fokus ke lebih dari satu hal pada saat bersamaan. Yang kita lakukan waktu “multitasking” adalah memindahkan fokus perhatian dengan sangat cepat. Kita paksa otak untuk pindah sana pindah sini.
Mengapa otak harus pindah? Karena, beberapa pekerjaan yang kita lakukan seringkali rebutan memakai bagian otak yang sama.
Menulis e-mail sambil menjawab telepon, misalnya, tak mungkin dilakukan berbarengan karena keduanya menyangkut komunikasi, yang satu tertulis yang lain lisan.
Pakar lain memberi contoh seorang ibu yang ingin serius menonton serial tivi. Pada waktu itu ia “menyuruh” otaknya untuk memprioritaskan informasi visual (tayangan tivi) dan “mengecilkan volume” informasi pendengaran (anaknya yang berisik). Sampai… si kecil berteriak keras karena digigit kucing, umpamanya.
Saya pernah mencuci seprei di mesin cuci dan sampai lama ia masih berendam deterjen karena perhatian saya teralih ke hal-hal lain. Pekerjaan yang seharusnya selesai dalam 3 x 15 menit, jadi dua hari!
Mungkinkah lebih baik saya kembali ke ajaran lama: “The quickest way to do something is doing one thing at a time“?